Apakah Buku ‘Filosofi Teras’ Worth the Hype?

Flight pulang mudik Balikpapan-Jakarta

Sori kalo judulnya provokatif. Tapi kenyataannya, gw pun baca buku ini karena jadi “korban provokasi” obrolan kaum urban. Bahkan dalam berbagai situasi percakapan, buku ini sering disebut. Lantas apa yang membuatnya spesial? berbicara tentang filosofi stoikisme, ini jelas bukan buku dasarnya, bukan juga buku pertama dalam bahasa Indonesia. Tapi saat gw baca buku ini, dia udah jadi mega best seller, dimana yang gw pegang sendiri udah cetakan ke-25. Uwow.

Begitu gw baca bagian pengantar, jujur, hook-nya menurut gw dapet banget. Om Piring (panggilan dari Henry Manampiring, sang penulisnya) langsung cerita “Saya menderita major depressive disorder’ atau simpelnya “saya didiagnosa depresi (oleh psikiater)”. So, buku ini bukan cuma tentang apa itu stoikisme, tapi lebih ke stoikisme dan relevansinya dengan kehidupan dia pribadi. Itu menurut gw cerdas dan jadi terasa tulus kenapa dia akhirnya nulis buku ini. Gw malah jadi belajar cara menulis buku dari sini. Kalo cuma ngomongin “stoikisme adalah.. bla bla bla”, om Piring bakal kalah dengan para pakar filosofi, karena dia sendiri bukan doktor di bidang itu. Text book tentang stoikisme pun sudah relatif banyak. Untuk orang-orang yang betul tertarik, akan mikir “ngapain gw baca buku ini? mending baca tulisan para filsuf Romawi atau Yunani langsung aja”. Untuk nulis buku teori, penulis harus saling adu kredibilitas. Tapi untuk nulis pengalaman pribadi, gak ada yang lebih kredibel dibanding orang itu sendiri. So, memadukan “text book” tentang prinsip-prinsip dasar stoikisme dengan perjalanan hidup adalah formula yang menarik, dan akhirnya gw jadi nerusin baca buku ini, alih-alih karena ingin jadi ahli Stoa, gw lebih pengen tahu gimana si Stoikisme merubah hidup dia.

Secara umum, efek dari buku ini ke pembaca akan tergantung dari latar belakang pembaca tersebut. Gw ngebanyangin, kalo gw belum pernah denger apa itu stoikisme sebelumnya, kayaknya impresi gw akan ngerasa buku ini sangat breakthrough dan life-changing. Tapi karena gw udah agak familiar dengan stoikisme dan konsepnya tentang berfokus pada yang bisa kita kontrol (atau yang di buku ini disebut ‘dikotomi kendali’), efeknya jadi gak terlalu se-wah itu. Tapi kalo dari tulisannya sih, kayaknya om Piring termasuk kategori orang yang pertama. Doi nulis ini di 2018 setelah nemu buku wajib filsuf Stoa di toko buku, artinya ini konsep yang baru dia temukan saat itu, dan jadinya terasa mencerahkan, sehingga dirasa harus dibagikan ulang. Tapi walau demikian, gw tetep belajar banyak kok dari buku ini.

Kelebihan buku ini adalah dia memberi contoh penerapan prinsip-prinsip Stoa dalam kehidupan sehari-hari, misal: dalam menghadapi hal (yang dianggap) buruk yang simpel seperti macet, haters, jatuh, ditolak, sampai menghadapi hal gelap seperti kematian. Ini menegaskan bahwa Stoikisme relevan di semua lini, tanpa pandang bulu, dan bahkan sampai sekarang, setelah lebih dari 2000 tahun konsep ini diperkenalkan.

Untuk melengkapi catatan pengalaman, om Piring juga bawa pasukannya dari berbagai latar belakang, ada yang psikiater psikosomatis, psikolog, (self-claim) Stoa, dan (non self-claim) praktisi Stoa. Ini memperkaya bukunya dengan berbagai perspektif lain, yang menurut gw efektif.

Ngomong-ngomong, alasan judul buku Filosofi Teras dipilih, ternyata ya memang literal, karena filosofi Stoa diajarkan di teras XD

Di luar dikotomi kendali, tetep banyak yang gw pelajari dari sini, karena om Piring menjelaskannya dengan lebih dalam. Beberapa poin yang gw highlight:

  • Konsep yang paling menarik perhatian gw: practice poverty. Katanya Stoa menganjurkan kita untuk latihan menderita secara rutin. Kenapa? Karena kesenangan apapun (kekayaan, ketenaran, makanan, sex, dll) jika dialami terus menerus, dia akan menjadi norma dan rasanya jadi biasa saja. Jadi para Stoa menganjurkan kita untuk sering-sering “turun level”. Misal: biasa makan enak, cobalah 4 hari seminggu makan makanan murah dan standar. Atau kalau biasa kemana-mana naik mobil, cobalah lebih rutin naik motor. Tujuannya, untuk merasakan kembali nikmat atas apa yang telah kita miliki, yang berdampak kita bisa lebih bahagia.
  • Emosi adalah bagian dari rasio yang membentuk opini. Saat kita merasakan emosi negatif, itu karena opini kita menyatakan bahwa sesuatu itu buruk. Begitupun sebaliknya. Saat merasakan emosi positif, itu karena opini kita menyatakan bahwa sesuatu itu baik, Para Stoa akan melihat segala sesuatu sebagai netral, tidak baik dan tidak buruk. Ini akan ngasih diri kita kunci untuk mengendalikan emosi tersebut.
  • Jika opini berkaitan dengan masa kini, yang muncul adalah rasa senang atau rasa sesal. Tapi jika berkaitan dengan masa depan, maka yang keluar adalah perasaan iri atau takut. Walau yang ditakutkan tidak kejadian, merasa takut saja sebenarnya sudah ada “ongkosnya” (cost of worry), yaitu: energi pikiran, waktu dan uang, juga kesehatan tubuh.
  • Aplikasikan STAR; Stop – Think – Assess – Respond. Intinya, saat terjadi sesuatu, jangan dulu bereaksi. Stop dulu, pikirkan, pisahkan sesuatu itu dengan opini atau persepsi kita, baru ambil pilihan terbaiknya yang bijaksana.
  • Di buku sempat disinggung juga tentang CBT atau Cognitive Behavioral Threapy, dimana dinyatakan oleh pakarnya bahwa CBT mendukung filosofi Stoa, karena kognitif berpengaruh pada perilaku, begitupun sebaliknya, perilaku bisa mengubah pikiran. Untuk yang kepo tentang CBT, bisa nonton video Youtube aku berikut ini: (hehe, malah promo)

So, kembali ke pertanyaan di judul, apakah buku ini worth the hype? Karena isinya positif, gw sih bilang worth it 😀

Filsafat masih sering terasa jauh dari kalangan umum, dan buku ini bisa jadi pengantar anak muda ke dunia filsafat dengan santai sambil juga belajar cara hidup yang menenangkan internal diri. Selamat buat om Piring atas puluhan kali cetaknya. Aku sih yes.

Setelah menyelesaikan si buku hanya dalam 4 hari,

Hani Rosidaini

PS: Untuk yang tertarik bergabung klub Stoic Indonesia di Facebook, bisa cek link ini

Kenapa Gw ZBL sama Balikpapan

Idul Fitri 2023 ini gw mudik ke rumah keluarga suami di Balikpapan. Tentunya gw bertemu ibu bapak mertua gw di rumah mereka, di daerah padat penduduk di perbukitan, tapi juga dekat ke pantai, hanya 5 menit naik sepeda motor. Di rumah itu, ada 1 mobil dan 3 motor, kesemuanya diparkir di luar rumah. Sebagai catatan, rumahnya pun tidak berpagar, jadi halaman rumah yang dimaksud termasuk juga jalan umum. Singkat cerita, saat malam tiba, gw perhatiin kok kendaraan-kendaraan itu dibiarin aja, gak digembok, gak dimasukin area rumah, atau apapun. Saat gw tanya ke bapak mertua, beliau bilang “ya biarin aja, orang aman kok. Lihat aja tuh motor-motor di bawah (nunjuk motor tetangga) juga ditaro gitu aja di pinggir jalan, gak apa-apa”.

Hal ini spontan mengingatkan gw ke statistik yang gw lihat beberapa hari sebelumnya, tentang “Seberapa percaya elo sama tetangga dan orang-orang di lingkungan lo?”

Norwegia ada di urutan pertama, dan itu gak aneh sama sekali. Saat gw ke Norway, gw sendiri syok ngeliat kulturnya yang sangat percaya sama orang lain. Rumah-rumah mereka juga gak berpagar. Jangankan rumah, saat gw ke tempat penginapan aja, itu tempatnya gak dikunci sama sekali, gak ada resepsionis atau penerima tamu, gw bisa langsung masuk, lalu ke kamar, dan bebas ngapain aja sesuka gw. Di tempat umum, masuk ke transportasi publik pun banyak yang gak ditutup. Misal: kereta yang bayarnya pake kartu. Biasanya, akan ada gerbang dimana kita harus tempelin kartu kita, baru bisa masuk. Tapi di Norway nggak. Gak nempelin pun tetep bisa masuk. Aneh kan? Saking percayanya mereka bahwa semua orang hidup dengan kesadaran akan norma-norma, bahwa orang-orang pasti tetep akan nempelin kartunya dengan bertanggungjawab. Ekstrimnya, saat gw harus berurusan sama polisi di Norway, walau gw melakukan kesalahan, tapi polisinya sendiri bilang bahwa mereka yakin gw gak berniat melakukan kesalahan itu dengan sengaja. Wow, I’m impressed.

Tapi itu Norway. Dan di statistik di atas, Indonesia juga termasuk yang nilai kepercayaannya atas tetangga itu lumayan lah, 61%. Gw langsung mikir, “wah, ini pasti surveynya gak di kota besar”. Di Jakarta, mana ada orang berani gak ngunci rumah? Mana percaya kita ngebiarin motor atau mobil ditaro gitu aja di jalan malem-malem? No way, man. Mungkin surveynya termasuk ke orang-orang di Balikpapan? Dan itu sangat mengusik prinsip gw atas apa itu tempat tinggal yang layak.

Sebagai referensi, saat gw menulis ini, gw sudah mengunjungi kota-kota di 17 negara di 4 benua. Kesimpulan dari pengalaman itu adalah bahwa memang tidak ada kota yang sempurna, semua pasti ada plus minusnya. Tapi, kita tetap bisa menentukan parameter apa yang kita pake untuk menentukan suatu kota itu layak tinggal atau nggak. Semakin berumur, parameter gw semakin mendasar, utamanya ada 3, yaitu:

  1. Udara bersih

Ini hal wajib yang harus ada untuk suatu kota gw akui layak tinggal. Sebagai manusia, apa sih hal mendasar untuk kita? Bernafas. Dan kita butuh udara untuk bisa melakukan itu. Di Jakarta, sangat gw sadari bahwa ternyata hal mendasar kayak gini aja sulit. Udara kotor bikin gw males bernafas, tapi karena tetap harus bernafas, gw terpaksa menghirup udara yang tidak layak. So, udara bersih itu hakiki.

2. Air bersih

Air bersih yang gw maksud artinya bukan cuma kita sendiri yang punya akses ke air bersih, tapi air di sekitar kita juga bersih. Semua orang di lingkungan kita bersih. Kenapa? Karena hidup kita saling berkaitan. Percuma gw punya air bersih, tapi lingkungan banjir, sungai kotor, sedangkan gw masih sering beli pecel lele di warung pinggir jalan. So, sanitasinya bagus, itu baru layak. Kalo levelnya negara maju, udah bisa minum langsung dari air keran.

3. Rasa aman

Awalnya gw cuma punya syarat 2 di atas; air dan udara. Tapi saat gw pergi ke kota Medan pertama kali, dimana semua orang mewanti-wanti gw untuk selalu waspada, jangan keluarin hp di jalan, takut preman dan jambret dimana-mana, dll, sampe ada istilah “ini Medan, bung!”, gw jadi merasa sangat gak nyaman, kemana-mana ketakutan, dan itu gak enak banget. Ternyata, ngerasa aman itu mahal harganya, rasa takut dan khawatir itu ada biayanya. Tiga diantaranya adalah: energi pikiran (efek psikologis), waktu dan uang (jadi terpaksa naik gocar dibanding jalan kaki, misalnya), dan kesehatan tubuh (rasa panik dan takut pasti mempengaruhi fisik juga). Sejak saat itu, gw jadi menambahkan poin ‘rasa aman’ ke syarat suatu kota disebut layak tinggal.

Mungkin gw kelamaan tinggal di kota besar, jadi menganggap naro kendaraan di luar rumah adalah hal aneh. Dan saat gw ke Balikpapan (setidaknya di daerah tempat mertua gw), ternyata gw bisa menemukan 3 syarat tempat layak tinggal yang gw cari. Udara di sana masih (relatif) bersih, lingkungannya lumayan bersih, karena orang-orangnya lebih “civilized” (menurut riset), dan ternyata jadinya keamanan juga meningkat (walau tentu persentase tindak kriminal bukan 0%). Gw jadi zbl ke Balikpapan karena orang-orang di sana bisa merasakan itu, hidup dengan nyaman, gak kayak gw di Jakarta, yang gak punya kesemuanya. Semoga ini berlangsung dan berlanjut seterusnya.

Sambil capek-capek baru kembali ke ibukota,

Hani Rosidaini

PS: Kalo ada yang nanya, “yaudah Han, kenapa gak pindah ke Balikpapan aja? Sebenernya selain 3 syarat di atas, karena gw extrovert dan ADHD, memang ada kecenderungan bawaan gw hanya suka kota besar. Lebih tepatnya kota yang lebih metropolitan. Agak sulit memang. Begitulah.

ADHD Berdasarkan Buku ‘Driven to Distraction’

Oslo, 2022

Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya di postingan blog yang ini, saya baca buku ‘Driven to Distraction’ (yang orang bilang buku klasik tentang ADHD) untuk mengenal lebih jauh tentang “disorder” ini, yang ternyata jadi bisa sembari mengenali diri sendiri juga. Beberapa poin di buku ini yang saya highlight adalah:

  • Singkatnya, ADHD adalah sindrom neurologis yang bisa didefinisikan sebagai segitiga yang terdiri dari impulsifitas, kemampuan untuk lebih mudah terdistraksi, dan hiperaktif atau kelebihan energi.
  • ADHD bukanlah ketidakmampuan belajar atau disleksia, dan tidak ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan. Faktanya, banyak orang ADHD justru sangat pintar.
  • Karena pikirannya yang bisa “terbang bebas”, salah satu hal positif yang bisa ada pada orang ADHD adalah kreatifitas, dalam melihat masalah, mencetuskan solusi, dan berpikir di luar kotak. Tapi sisi lainnya, bisa sangat tidak sabaran, dan mudah ambil kesimpulan.
  • Menyuruh orang ADHD untuk bekerja lebih keras, itu seperti menyuruh orang rabun untuk memaksa melihat dengan lebih memicingkan mata. It missed the biological point!
  • ADHD lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Belum diketahui apa penyebabnya, tapi bukti yang ada menyatakan faktor genetik adalah penyebab paling umum.
  • Salah satu komentar dari seorang dokter yang bernama Russell Barkley: Orang ADHD punya kemungkinan 40% lebih besar untuk bercerai, dan 30% kemungkinan lebih besar untuk jadi pengangguran.
  • Treatment yang bisa dilakukan untuk orang ADHD: Diagnosis – Edukasi – Strukturisasi diri – Coaching dan/atau psikoterapi – Pengobatan.
  • Kenapa diagnosis sudah dianggap suatu treatment? Karena beda dari kebanyakan disorder yang lain, seringkali membuat diagnosis saja sudah bisa memberikan efek terapetik pada orang ADHD. Seperti menemukan cahaya, orang ADHD yang awalnya tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sekian lama, akhirnya bisa menemukan jawaban tentang kondisi sebenarnya.
  • Strukturisasi diri yang dimaksud di atas adalah membuat struktur dalam hidup dengan menggunakan check list, reminder, schedule, dan ritual. Karena orang ADHD pikirannya mudah terdistraksi dan bercabang, maka itu harus dibuat agar lebih rapi, dengan cara simplifikasi jadwal. Misal: hari Senin adalah hari mencuci baju, hari Selasa hari melakukan B, hari Rabu khusus C.
  • Pengobatan pada ADHD bekerja dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan kimia dari neurotransmitter yang ada di bagian otak orang ADD yang meregulasi tingkat atensi, kontrol impulsi dan mood.
  • Seringkali, orang ADHD kesulitan menyelesaikan pekerjaan adalah karena sudah kewalahan duluan membayangkan tugas besar yang ada di depan mata. Maka, salah satu cara mengatasinya adalah tidak membayangkan hasil akhir, tapi break down tugas menjadi hal-hal kecil yang bisa dilakukan saat itu juga. Hanya pikirkan yang bisa dilakukan menit itu.
  • Orang ADHD bisa bekerja dengan lebih baik saat berada dalam grup dan selalu mendapatkan dorongan. Akan sangat baik jika orang ADHD memiliki support group dan coach yang bisa memberikan feedback dan motivasi terus menerus untuk menjaga agar selalu on-track.
  • Metoda yang bisa digunakan oleh coach (yang dimaksud di poin atas): HOPE. Help (tanyakan apa yang bisa dibantu) – Obligation (tanya apa kewajiban yang ada sekarang) – Plan (tanya apa rencana untuk menjalankan kewajiban tersebut) – Encouragement (terus motivasi dan yakinkan bahwa dia bisa)
  • ADHD bisa bermacam-macam, bisa dibarengi oleh sindrom yang lain juga, seperti depresi, borderline personality, OCD, dll.
  • Jika sudah terdiagnosa ADHD, penting untuk lingkungan tahu, agar mereka mengerti, karena bagaimanapun pembawaan ADHD akan berpengaruh pada hubungan sosial.
  • Orang ADHD akan sangat suka kota-kota besar.

Masih banyak poin lainnya, tapi lebih lengkapnya silakan baca langsung bukunya. Untuk skor buku ini, saya kasih 9/10, karena dia tidak membosankan sama sekali. Malah saya yang sering terbawa emosinya karena membaca pengalaman orang-orang yang diceritakan di buku ini. Terima kasih, Edward & John!

Sambil menikmati malam ke-4 lailatul qodar,

Hani Rosidaini

PS: Akun/profil Goodreads saya ada di sini. Silakan add jika berkenan.

SEPATU UNTUK BAPAK

Saat masih tinggal di daerah Kebon Kacang, Jakarta, saya sering sekali ke mall Grand Indonesia karena jaraknya sangat dekat. Saking seringnya, saya sampai hapal layout gedung dan pertokoannya. Namun tiba-tiba ada yang aneh. Setiap terdorong mampir ke toko sepatu, saya selalu tertarik membeli, tapi bukan untuk saya sendiri, melainkan untuk Bapak. Entah kenapa yang teringat selalu Bapak. Begitu terus sampai akhirnya saya telepon orang tua saya di Bandung, dan bilang ke Bapak, “Pak, nanti aku ke Bandung, kita beli sepatu ya. Tiba-tiba aja pengen beliin”. “Siaapp”, kata Bapak. Ibu yang ada di situ mungkin agak cemburu, tapi juga maklum karena anaknya ini memang “anak Bapak” dan sangat moody, jadi saat mood-nya untuk membelikan Bapak, ya sudah, dibiarkan saja.

Tibalah waktu saya ke Bandung, dan saya ajak keluarga ke Trans Studio Mall, untuk belikan sepatu Bapak sekalian makan bersama. Saat di salah satu toko mall, saya bilang ke Bapak, “pokoknya pilih yang bagus dan enak, harganya harus di atas 1 juta”. Saya tidak ingin Bapak merasa segan, dan saya betul-betul ingin Bapak beli yang terbaik. Walaupun akhirnya kebablasan. Setelah pilih-pilih sepatu, Bapak jadi nunjuk baju-baju yang ada di toko, topi, kaos kaki, sambil seolah ngasih arahan “Ni… “. “Hahaha”, tawa saya dalam hati. Akhirnya kami keluar toko dengan tas berisi barang belanjaan, milik Bapak seorang.

Para penonton Bapak belanja

Ekspresi Bapak yang priceless

Semua tampak biasa saja, bukan? Sampai akhirnya belakangan saya sadar kenapa saya seperti itu. Kenapa saya ingin belikan Bapak, dan kenapa hanya Bapak.

Dulu, saat saya kecil, memori yang tertanam di kepala saya, Bapak-lah yang selalu menemani saya beli sepatu untuk sekolah. Pergi ke pasar Suci, pasar baru, atau pasar lain, selalu di pasar. Tidak ada memori di kepala saya beli sepatu di tempat bagus, apalagi beli sepatu bermerek. Sepatu saya, paling harganya Rp 25.000, produk abal-abal. Bapak bilang “sepatu itu sama aja, ujungnya sama-sama diinjek. Sepatu mahal itu cuma buat gaya, jadi untuk apa”. Itu yang saya akhirnya percaya dan yakini.

Hingga akhirnya saya dewasa, punya uang, saya jadi punya kesempatan untuk coba beli sepatu “bagus”, sepatu “mahal”. Dan ternyata rasanya memang beda, nyamannya beda, empuknya beda. “Kemana saja saya selama ini?”, itu yang saya rasakan. Waktu berlalu, ternyata sepertinya pengalaman itu membangkitkan memori lama. Saat lihat sepatu, secara alam bawah sadar ternyata saya ingat si Hani kecil, yang seandainya punya kesempatan, mungkin akan bilang ke Bapaknya waktu itu “nggak, Pak. ternyata sepatu mahal tu rasanya beda. Empuknya beda. Ini beda dengan sepatu murah yang Bapak bilang sama aja”. Ternyata si Hani kecil ingin membayar pengalaman itu. Si Hani kecil ingin bapaknya tahu apa bedanya sepatu bermerek, dan ingin bapaknya ikut merasakan langsung.

Menyadari itu, saya tertegun sendiri. Betapa dalamnya pengalaman masa kecil tertanam di diri kita, betapa besar dampaknya bagi psikologis kita, dan betapa kita tidak tahu kapan momen-momen emosional itu akan muncul ke permukaan saat kita dewasa. Mungkin karena itu, ada yang namanya “inner child”. Karena kenyataannya kita tidak seutuhnya tumbuh, kita tidak benar-benar adalah kita di momen sekarang, dan kita hanyalah kita saat kecil yang bersembunyi jauh di dalam kumpulan memori, seperti si Hani kecil dan pengalamannya membeli sepatu dengan Bapak, puluhan tahun yang lalu.

Hari ke-21 Ramadhan sehabis sholat shubuh,

Hani Rosidaini

Hal-hal yang Dipelajari dari Bekerja dengan Pemerintah

Poin-poin di bawah ini akan terdengar sangat biasa di telinga sebagian orang, terutama yang berlatar belakang kebijakan publik, tapi percayalah, untuk orang-orang yang clueless sama sekali tentang bekerja dengan pemerintah (seperti saya pada awalnya), hal-hal berikut bisa membantu, seandainya saja bisa diketahui lebih awal, agar bisa membantu proses kerja, koordinasi, dan komunikasi saat kita harus melakukan proyek bersama dengan pihak pemerintah. Iya, khususnya pemerintah Indonesia.

(Tidak ada urutan angka, karena bukan ditulis berdasarkan bobot poin)

  • Pemerintah “tidak bisa melakukan apapun” tanpa dasar hukum. Katakanlah di bidang pekerjaan saya, transparansi, anti korupsi, keterbukaan publik. Ada banyak praktik baik yang bisa diadopsi oleh pemerintah Indonesia, baik dari negara lain, maupun lembaga internasional yang memiliki banyak pengalaman dan mengumpulkan berbagai pembelajaran global. Tapi itu semua tidak serta merta bisa diadopsi jika di Indonesia sendiri belum ada dasar hukumnya. Maka dari itu, cara efektif bekerja dengan pemerintah adalah, pelajari semua dasar hukum yang ada, apa tujuan yang bisa menjadi prioritas, dan bantu pemerintah dalam mencapai itu. Jika perbaikan baru dirasa sangat penting, namun tidak ada dalam peraturan manapun, maka mulailah dengan dorong pembuatan kebijakan baru yang terkait itu. Intinya, tidak ada aksi tanpa dasar hukum. Sebaik apapun sesuatu, walaupun itu akan sangat bermanfaat bagi pemerintah, tetap saja tidak akan bisa dilakukan jika tidak ada landasan tertulisnya.
  • Pelajari motif suatu negara, lembaga maupun individu, terutama tokoh kunci yang bekerja dengan kita. Teorinya adalah “What’s in it for me?”. “Untungnya buat gw apa dengerin atau ngikutin lo?”. Mungkin ini terdengar umum, tapi untuk saya ini menarik. Kenapa? Karena di sektor privat, ini rasanya jauh lebih mudah. Hanya ada satu bahasa universal di sektor privat, yaitu uang. Keuntungan moneter. Tapi jika di sektor publik, motifnya bisa jauh lebih bervariasi dan bisa sangat misterius. Bisa saja suatu negara, lembaga, atau tokoh publik menyatakan di media bahwa mereka mendukung aksi keterbukaan. Tapi kenyataannya? Tidak ada yang tahu. Apakah mendukung artinya berkomitmen? Apakah berkomitmen artinya beraksi? Apakah beraksi artinya gerak cepat? Apakah jika terjadi kelambatan progress, itu karena kendala eksternal, atau sengaja dihalau oleh pihak internal tertentu?. Saat seorang tokoh publik menyatakan dukungannya di media, apa dia benar-benar tulus menyatakan itu? Apa sebenarnya dia sedang mengejar sesuatu? Apa yang sedang disembunyikan? Apa ada tujuan lain yang bisa menjadi dampak dari dukungannya? Yang jelas, semakin awal kita tahu motif masing-masing yang terlibat, semakin bagus. Karena kita jadi bisa atur strategi dan bisa selalu menitikberatkan poin tersebut dalam setiap kesempatan berkomunikasi.

Gambar di atas adalah gambar stakeholder mapping yang paling umum. Kita harus mengelompokkan pemangku kebijakan berdasarkan pengaruh dan dukungannya. Kesulitan dalam menentukan motif pihak-pihak yang terlibat, menyebabkan kesulitan dalam menentukan masing-masing mereka sebenarnya ada di kuadran yang mana.

  • Ada sensitifitas terkait bagi pakai data. Dalam kaitannya dengan lembaga pemerintah, data adalah aset dan barang berharga, yang dianggap sensitif dan sayangnya juga melibatkan ego. Di satu sisi, kita bisa merasa gemas saat pemerintah enggan berbagi data yang mestinya milik publik, tapi di sisi lain, kita juga harus empati bahwa pemerintah merasa memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi negara dan masyarakatnya. Jangankan untuk informasi sensitif, kadang untuk informasi umum saja, ini sulit dilakukan. Padahal kalau orang bilang sih, “data-data itu udah bocor juga. Kita cuma berusaha minta baik-baik tapi ditolak”. Salah satu solusinya adalah kembali ke poin awal: pelajari segala dasar hukumnya. Cari celah yang mengharuskan pemerintah berbagi data, atau jika memang tidak ada, maka doronglah peraturan baru yang membuat pemerintah mau tidak mau harus mempublikasikan data yang diperlukan publik.
  • Tidak semua pihak terbuka dengan yang berbau asing. Sebagai orang yang bekerja untuk lembaga asing, awalnya saya tidak menyadari hal ini. Saya pikir, sebagai perwakilan dari lembaga internasional yang memiliki banyak praktik baik, di permukaan saya tampak sangat diterima dengan baik juga oleh pemerintah. Tapi ternyata, di belakang layar tidak selalu demikian. Pemerintah pasti punya pengalaman panjang bekerja dengan lembaga-lembaga asing, dan harus diakui, memang tidak semua lembaga asing bisa masuk ke Indonesia dan bekerja dengan pemerintah Indonesia dengan baik. Hal-hal seperti itu bisa menimbulkan kecurigaan dan skepstisisme, walaupun, sebagai negara dengan adat timur, pemerintah tentu tetap harus selalu bersopan santun. Salah satu solusinya adalah berkawan baik dengan banyak lembaga lokal, sehingga bisa membentuk citra yang baik dan juga mendapatkan insight sebenarnya dari para pihak, karena mereka juga sudah jauh lebih lama beroperasi dan bekerja dengan pemerintah.
  • Kemampuan komunikasi dan advokasi sangatlah krusial. Ini sepertinya juga hal umum, tapi tetap saja untuk orang seperti saya cukup menantang. Kadang ingin rasanya fokus ke pekerjaan saja, bicarakan hal-hal penting terkait pekerjaan, lalu selesai. Tapi bekerja dengan manusia, terutama pemerintah, tetaplah butuh banyak kemampuan sosial, sehingga mahir kemampuan teknis saja tidaklah cukup. Bahkan mungkin bobot kemampuan advokasinya jauh lebih besar dibanding kemampuan teknis.
  • Bentuk aliansi dengan pihak-pihak yang ada di internal pemerintah. Tidak harus selalu tokoh besar atau tokoh kunci di suatu lembaga, tapi bisa juga dengan kroco-kroco, atau orang-orang yang ada di bawahnya. “Bukan orang penting” bukan berarti tidak penting. Setidaknya kita jadi bisa lebih banyak insight, setidaknya jadi ada yang bisa diajak bicara (penting! supaya tidak merasa sendirian), dan syukur-syukur ikut membantu kita mengerjakan pekerjaan dan mencapai tujuan bersama.

Sekian beberapa hal dari saya yang kebetulan terbersit saat menulis blog ini. Silakan tambahkan jika teman-teman memiliki pengalaman serupa. Terima kasih.

Sambil ngantuk-ngantuk di hari ke-16 Ramadhan 2023

Hani Rosidaini