Kenapa Isu “Women in STEM” Selalu Menarik

_MG_0316

Kiri ke kanan: Ibu Linda Dwiyanti (Consumer Devices Sales Director, Microsoft Indonesia), mba Jezzie Setiawan (Founder & CEO GandengTangan.org), Ibu Deborah Intan (IT Director, Coca-Cola Amatil), aku, mba Hanifa Ambadar (CEO Female Daily Network), Ibu Gezang Putri (Group Head Network Design & Development, INDOSAT Oredoo), pimpinan Microsoft, mba Septa Mellina (Tech In Asia)

 

Biasanya isu ini ramai diperbincangkan di bulan April, yang identik dengan “bulan perempuan”, terutama karena ada Hari Kartini. Tapi aku nulis ini di bulan Mei, agak sedikit menyatakan bahwa, isu ini memang selalu menarik kapanpun pembahasannya.

Lumayan ter-trigger saat jadi salah satu pembicara di talkshow-nya Microsoft Indonesia, aku jadi pengen nulis beberapa poin terkait isu “Women in STEM” ini, terutama di Indonesia. Aku bukan sedang mau liputan kegiatan tempo lalu, karena kalau untuk itu, temen-temen bisa baca di media online seperti Femina, Cosmopolitan, CewekBanget, atau media-nya Microsoft sendiri, dll. Secara praktis, ringkasannya ada di situ. Tapi aku justru lagi pengen share poin-poin yang mungin terlewat dan bisa jadi bahan diskusi lanjutan untuk kita semua. Yaitu:

  1. Ambiguitas di “Women in STEM”

Atau lebih tepatnya mungkin over-generalisasi.

Setiap kali ngomongin “Women in STEM”, menurutku kalau mau lebih jelas, sebenarnya kita harus definisikan dulu “Women in STEM” mana yang dimaksud. Karena sejauh ini, sering bercampur antara women leader in technology industry dengan women engineer or scientist who really do the “dirty job” (technical, scientific, or systemmatical work). Bagaimanapun ini distinctive untuk kita melanjutkan ke bahasan selanjutnya.

Aku tahu beberapa CEO atau direktur perempuan di industri STEM yang basically mereka gak punya kemampuan teknis. They’re totally business persons. Main orientation = money/impact. Maka dari itu, bahasan-bahasan yang bisa didiskusikan dengan mereka adalah lebih ke bagaimana cara mencari talent dengan skill oke, dinamika bisnis teknologi terkini, menyeimbangkan kehidupan profesional dengan pribadi, dst. Sedangkan untuk perempuan-perempuan yang memang berkecimpung langsung dalam kegiatan “ilmiah”-nya, kita bisa menggali lebih dalam lagi hal-hal yang lebih teknis, tentang apakah suatu sistem sudah ramah perempuan, apa yang memotivasi untuk bisa terus update dengan riset terbaru, metoda apa yang berpotensi dikembangkan untuk menyelesaikan masalah di Indonesia, dll. Orientation = knowledge/applied technology.

Ya memang ada juga business women leader yang punya kemampuan teknis. Dan hal ini akan terkait ke poin berikutnya, yaitu…

2. Jalur Karir 

Di banyak perusahaan, seorang engineer tidak dipersiapkan untuk jadi CTO (Chief Technology Officer), tapi malah dibelokkan menjadi analis atau project manager. Hal ini disebabkan karena banyak yang menganggap posisi tersebut lebih tinggi, padahal sebenarnya pindah jalur. Miskonsepsi lagi jika perempuan dianggap pasti lebih cocok di posisi tersebut. Padahal yang satu teknis, satunya lagi manajemen. Bagaimanapun, saat sudah menduduki kursi manajemen, topi insinyur harus digantung, dan role akan jadi sangat berbeda.

3. Pentingnya Women Business Leader in STEM

_MG_0293

Menyebutkan poin-poin sebelumnya, tidak artinya female engineers jauh lebih penting dibanding menempati posisi direktur di industri STEM. Kita tetap butuh perempuan-perempuan untuk menempati posisi strategis di perusahaan, karena perempuan lah yang paling mengerti betul kebutuhan perempuan di lingkungan kerja tersebut. Dan jika memiliki kekuatan/otoritas, kita akan mampu menyuarakan isu, membuat peraturan/kebijakan, dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan atau akomodatif untuk semua gender.

4. Pentingnya Female Engineers

_MG_0250

Melihat fakta yang ada, kita juga membutuhkan lebih banyak female engineers yang punya kekuatan untuk mengubah sistem secara teknis agar lebih akomodatif untuk perempuan. Karena menurutku teknologi pun memiliki kecocokan psikologinya masing-masing. Contoh: Linux. Ambil sampel aku sendiri (haduh, permisi ya permisi :s). Sungguh, sejujurnya aku sendiri sangat tertarik pake Linux. Tapi menghadapi layar kosong dan cuma bisa berinteraksi dengan komputer pake command line itu kesan pertamanya cukup mengerikan. Terlalu banyak ketakutan yang bisa dengan gampang bikin kita mundur, atau mungkin maju, tapi sangat perlahan-lahan. Atau mungkin contoh lainnya: develop game. Jelas game perempuan beda jenisnya dengan laki-laki. Dan kalau developer game-nya adalah perempuan, mestinya ya game tersebut bisa lebih akomodatif juga.

piegraph6gender

Sumber: bit.ly/2IkCpZ0

 

5. Perbandingan Indonesia Dengan Amerika

_MG_0216

Kalau harus berkaca ke pusat teknologi dunia, Amerika, sebenarnya banyak yang harus kita syukuri terkait isu “Women in STEM” ini. Karena jika membahas tentang seksisme di dunia teknologi, di US jelas lebih parah daripada di Indonesia. Di sebagian negara maju lain pun, perempuan di lingkungan kerja mengalami kesenjangan bahkan dalam hal pendapatan untuk pekerjaan yang sama. (Contoh lain: di Australia) Perempuan bisa dibayar lebih rendah daripada laki-laki hanya karena dia perempuan. Sedangkan spesifik di industri STEM, bisa juga berkaca, salah satunya lewat buku Sheryl Sandberg (COO Facebook) yang berjudul Lean In (baca review-nya di sini), bahwa banyak kendala dan tantangan yang sekiranya di Indonesia tidak terjadi karena justru di negara kita lebih akomodatif (entah berapa kali aku udah nyebutin kata ini).

Isunya sekarang adalah, jumlah female engineers di Indonesia lebih banyak daripada di US. Tapi jumlah CTO Perempuan di sana kenapa bisa lebih banyak. Dan hipotesa sementara adalah terkait kultur. Jadi bukan traits yang inherent di perempuan, stereotip bahwa perempuan lebih gampang bosan, emosional, dll. Karena data menunjukkan, skill atau kapabilitas untuk satu role itu gender-less, siapapun bisa.

6. Isu Work-Life Balance

_MG_0234.JPG

Well… Ini adalah salah satu isu utama sebenarnya, bukan hanya di “Women in STEM”, tapi perempuan di lingkungan kerja pada umumnya. Aku sendiri kalau lihat direktur perempuan hebat, yang aku tanya pasti dua hal: cara mengatur perusahaan, dan cara me-manage keluarga sekaligus. Dan atas dilematika yang muncul, bahkan dari kalangan antar-perempuan sendiri, menurutku, jika kita ingin mengembangkan “Women in STEM”, kuncinya adalah: Stop mendikotomikan perempuan! :B Dikotomi ibu rumah tangga dan wanita karir hanya akan membuat kotak yang tidak perlu. Seolah-olah perempuan hanya bisa memilih salah satu dan mengorbankan yang lainnya. Ini sungguh sumber drama yang tidak penting. Belajarlah dari wanita-wanita hebat, maka akan kita temui para pemimpin perempuan yang simpatik yang juga sekaligus mereka adalah para ibu yang profesional.

(Kalau kata Bu Gezang dan Bu Deborah, tips-nya utamanya adalah: wajib cari pasangan hidup (suami) yang tepat :3)

7. Role Model

_MG_0276

Semakin banyaknya role model perempuan dalam industri STEM akan mempengaruhi perempuan-perempuan lain dalam melihat kesempatan yang ada. Bahwa banyak posisi yang bisa perempuan tempati, baik di teknis maupun strategis. Ditarik lebih jauh lagi ke pendidikan dasar, bidang-bidang keilmuan pun harus lebih banyak disosialisasikan agar masyarakat tahu sedini mungkin tentang cabang ilmu luas yang bisa dipelajari, profesi yang bisa dikejar, termasuk oleh anak perempuan.

Dan aku jadi inget video bagus dari Microsoft seperti berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=y5soEtBwH0Y (coba tonton deh >,<)

Akhir kata, kesimpulan aku sejauh ini adalah, masih sama dengan kesimpulan aku sewaktu pulang belajar dari Australia tentang gender study, bahwa perempuan dan laki-laki itu memang butuh treatment yang berbeda jika ingin sustain. Namun jika terkait urusan pekerjaan, sebagai perempuan, kita sendiri harus berani bersikap profesional dan menyatakan bahwa, “No, I’m not a female engineer. I am an engineer”. 

 

5 Mei 2018,

Salam hangat dari Jakarta,

dari aku yang juga badannya masih hangat

 

 

PS:

  • Terima kasih kepada pihak Microsoft yang sudah memberi kesempatan hadir di acaranya
  • Hormat dan respek aku juga untuk Microsoft Indonesia yang mendukung “fleksibilitas kerja”, dan hal-hal lainnya yang akomodatif untuk perempuan berkarir di Microsoft
  • Catatan aku ini juga terinspirasi dari obrolan santai di halaman Facebook-ku bersama teman-teman. Jadi terima kasih untuk Pandu Sastrowadoyo, mas Sumyandityo Noor, dkk 😉
  • Jangan lupa stay cool be awesome untuk semua “Women in STEM” di luar sana. Yoms! \m/

_MG_0308

 

Gaya Berbisnis ala Yoris Sebastian

 

yoris-sebastian

Sumber gambar: bit.ly/2uAIuGE

 

Always start anything with a quote! “Always. – Haniwww, 2017

Aloha!

Mungkin diantara kalian ada yang yang belum familiar dengan sosok yang akan kita bahas ini. Sosok yang identik dengan dunia “creative entrepreneurship”, dan bahkan sudah seperti “ikon”-nya untuk Indonesia. Setiap ada kegiatan bertema “kreatif”, pasti selalu ada namanya tercantum. Untuk perkenalan mendasar, dengan mudah kalian bisa temukan dengan mengetik namanya di halaman pencari ^^ Kebetulan saya beberapa kali bertemu dan berinteraksi dengan ybs, dan menurut saya ada dari gaya atau ciri khasnya yang bisa kita pelajari. Well.. sebenarnya sudah beberapa kali sih saya bahas tentang sebagian dari buku-bukunya yang dia tulis di blog, seperti di artikel ini dan ini, tapi kali ini kita akan spesifik membahas tentang caranya berbisnis dan bagaimana dia melakukan branding 😀

Nah, mari kita mulai terlebih dulu dari bagaimana saya mengenal seorang mas Yoris (panggilan saya kepada pria yang lahir di 5 Agustus 1972 dan pernah mengeyam pendidikan akuntansi ini). Haha.. setelah flashback, ternyata ceritanya lucu juga loh!

Jadii.. waktu itu pertama kali berinteraksi adalah saat menghadiri roadshow “Black Innovation Award 2012” #BIA2012 (kompetisi desain produk kreatif) di salah satu kampus di Bandung. Saya juga agak-agak lupa persisnya bagaimana, tapi twit teman saya ini akhirnya cukup mengingatkan kejadian di hari itu:

capture-20170812-232859

Fani jelas lebih g4oL dari akoohh

Haha, dat was mee! Waktu itu aku beneran gak tau Yoris Sebastian itu siapa. Cuma kayaknya sih waktu itu langsung main nyapa aja karena emang ngerasa pernah ketemu XP Kalau gak salah di salah satu pertemuan kecil BCCF (Bandung Creative City Forum) yang di tahun itu masih diketuai kang Ridwan Kamil (loong time ago, sekarang aja kang Emil udah mau jadi gubernur ^^). Waktu itu saya cuma nebak mas Yoris temennya kang Emil, udah. Sampai saat ketemu lagi di #BIA2012 dan dia jadi pembicara sebagai salah satu juri, then I thought “Owwkayy…”. Dan secara beruntungnya saya juga menang kuis di hari itu, sehingga bisa dapat bukunya dan jadi mulai mengenal mas Yoris dari hasil buah pemikirannya dalam tulisan.

76081e546e8611e1989612313815112c_7

Di #BIA2012. Review bukunya “Keep Your Lights On” ada di link ini.

Lama berselang saya tidak pernah lagi punya kesempatan untuk bertatap muka. Hingga akhirnya di tahun 2014 saya pindah ke Jakarta dan (lagi-lagi) secara beruntung terpilih oleh Samsung mendapatkan business coaching bersama seorang Yoris Sebastian, di acara yang bertajuk #CaptureYourBigness. Dari situlah awal mula saya mengenal gayanya dalam berbisnis. Kala itu mas Yoris masih menjalankan creative agency-nya OMG CONSULTING, sambil juga mengelola sebuah hotel/resort di Bali dengan konsep yang berbeda. Makin menarik.

IMG_5682

Selected participant for #CaptureYourBigness.

Paska #CaptureYourBigness, intensitas meningkat karena kami jadi saling follow di twitter dan berteman di Facebook, sambil saya juga berlangganan tulisan mingguan mas Yoris di website pribadinya yang selalu tayang di hari Senin, sehingga diberi nama #ILoveMonday (sama seperti program rancangannya dulu saat menjabat sebagai GM Hard Rock termuda di Asia). Tulisan-tulisannya jadi pemantik nalar saya bagaimana dia bisa membangun image dirinya sekreatif itu. Sampai di tahun 2016 kami bertemu lagi, dan dia menjadi mentor sekaligus juri saya di kompetisi bisnis berbasis teknologi #INNOCAMP2016. Hyah~

IMG_9767

#INNOCAMP2016. Dapet hadiah sebagai “The Most Relevant Personal Story” saat sesi karantina.

Yaa begitulah kira-kira kisahnya. Sekilas gambaran cerita untuk sedikit menjustifikasi tulisan saya berikut ini.

Dari semuanya itu, poin-poin berbisnis ala mas Yoris yang saya tangkap ialah:

  • Bagaimanapun luasnya pengetahuan kita, pastikan kita tetap punya core competence yang bisa terus dibangun. Mas Yoris bisa muncul sebagai konsultan di berbagai bidang, dari mulai desain, BUMN, teknologi, bisnis, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya, karena dia membangun core competence bukan berdasarkan jenis industri, tapi justru berdasarkan skill yang dibutuhkan, yaitu “creative thinking”. Hal ini menginspirasi saya untuk akhirnya memilih core competence yang ingin dikuasai.
  • Memaksimalkan bisnis sampai dua buah saja, lalu membuat rasio 70:20:10. 70 untuk yang primer, 20 yang sekunder, dan 10 sisanya untuk mencari ide-ide baru.
  • “Orang banyak nyari bisnis yang untungnya gede. Gw pengen bikin bisnis yang ruginya susah”. – Yoris Sebastian
  • Jangan terjebak dengan slogan “Go Bigger”. OMG Consulting (sejak tahun 2007) menjaga jumlah timnya tetap sedikit tapi bisa tetap berkembang.
  • Sebisa mungkin bangun bisnis yang walaupun berkembang, penggunanya bertambah jutaan, tapi resource kita bisa tetap minimum. Karena itu..
  • Harus bisa bayangkan seandainya bisnis kita besar, itu akan seperti apa. Berapa banyak sumber daya yang akan dibutuhkan. Kalau ternyata malah akan buat diri sendiri menderita ya untuk apa.
  • Disiplin dengan jadwal. Termasuk dalam undangan menghadiri acara. Walaupun sebenarnya bisa saja mengisi banyak seminar dimana-mana, tapi dia selalu membatasi kuantitasnya per bulan (biasanya hingga sekitar 8 acara), karena jadi pembicara pun butuh riset dan cerita-cerita otentik yang baru.
  • Untuk pebisnis-pebisnis pemula, awal proses bisa dimulai dengan bertanya pada diri sendiri: “Who Am I?”, menelisik dan mendefinisikan elemen-elemen dari diri kita. Karena kredensial kita bisa jadi datang dari hal-hal bawaan, seperti lahir dan tinggal dimana, passion, image, dan juga pergaulan dan bentuk lingkungan.
  • Visi boleh besar, tapi mulailah dari orang-orang di sekeliling yang memang kenal.
  • Patenkan unique brand: Penting! Di tahun 2016 mas Yoris bahkan sudah mematenkan istilah #GenerasiLanggas yang telah dicetuskan oleh timnya, sebagai padanan bahasa Indonesia untuk kata #millenials.
  • Do your incubation right.
  • Tagline yang selalu didengungkan: “Think outside the box, but execute inside the box”. Kreatif itu boleh (dan seringnya harus) tapi jangan sampai keblinger. Dalam bisnis tetap harus relevan dan menghitung cost & benefit-nya. Karena bagaimanapun objektifnya adalah meningkatkan omset dan memperbesar profit.

 

Sedangkan beberapa pendapat saya sendiri terkait personal mas Yoris dan caranya bekerja:

  • Orangnya humble dan sangat terbuka dengan ide-ide baru dari orang lain, termasuk dari kawula muda. Karena toh pada akhirnya “experience can prove the greatness itself”.
  • Menarik juga melihat mas Yoris selalu peduli dengan orang-orang yang sudah dia beri mentorship. Biasanya jika ada mentee-nya yang menarik perhatian, mas Yoris berusaha tetap meng-update progress-nya dan mempelajari apa yang bisa dihasilkan.
  • Pintar me-leverage prestasi. Daftar pencapaiannya sering disampaikan secara halus di momen yang memang sesuai secara konteks, sehingga bisa meningkatkan kredibilitasnya di bidang spesifik.
  • Menulis buku adalah cara yang sangat powerful untuk membangun branding dan memperkuat kapabilitas.
  • Kadang saya berpikir branding personalnya terlalu kuat, hingga beresiko untuk perusahaannya jika suatu waktu tiba-tiba harus ditinggalkan. Maka semoga legacy-nya selalu ada, terutama pada para punggawa tim.
  • Berpikir kreatif itu memang harus selalu dilatih.

Nah.. demikianlah kira-kira yang saya dapat dari perkenalan selama ini. Semoga berkenan dan bermanfaat. Untuk kalian yang juga kenal mas Yoris, menurut kalian gimana? Tinggalkan komen di bawah ya! Bisa juga berbagi cara berbeda kalian dalam menjalankan usaha. Sampai ketemu di tulisan berikutnya! 😀

 

Menulis cepat di Sabtu siang di daerah Jakarta Selatan,

sambil posting foto di Instagram untuk program #LanggasToEurope

 

PS: Tulisan ini juga dibuat dalam rangkan memberikan selamat ke OMG Consulting yang sedang berulang tahun ke-10. Uwooo, ihiyy! Happy birthday ya! Semoga semua tim-nya makin kreatif dan sejahtera 😀

Ngobrol Bareng CEO GE Tentang Job Hopper

1529878_10204353449891953_6789690541724118329_o (1)

Pas Infrastructur Green Summit di Jakarta

 

Job hopper = kutu loncat di industri kerja (Kamus Besar Haniwww, 2017)

 

Sebenernya sih fenomena job hopper memang bukan hal baru, apalagi di kalangan anak muda. Berdasarkan data, di generasi kita, yang pindah dari satu kantor ke kantor lain karena berbagai alasan jumlahnya lebih banyak. Mungkin karena memang masih ada keleluasaan dan kesempatan dibanding dengan yang sudah berumur. Terutama kalau sudah berkeluarga, orang jadi punya lebih banyak pertimbangan jika harus mempertaruhkan posisi yang mereka punya.

Nah… untuk temen-temen muda yang ngejalanin bisnis, mungkin sempet dan masih sama-sama ngerasain dilema yang tumbuh dari persoalan ini. Kita-kita yang punya usaha rintisan, belum punya nama besar, apalagi jika disandingkan dengan perusahaan multi-nasional, ada dinamika tersendiri dalam mendapatkan “pekerja” yang berkualitas. Belum selesai dengan urusan kualitas, remunerasi, dan fasilitas, eh sekarang, dengan booming-nya millenials, kita juga jadi punya tambahan tantangan lain nih, karena katanya siih, millenials itu cenderung tipikal yang “demanding”, lebih banyak tuntutan, dan jadinya lebih gampang ngerasa gak puas. Sedangkan pilihan dirasa mereka banyak, jadi “bosen” dikit aja bisa langsung bikin pengen pindah ke lain tempat. *Sigh*

Tulisan ini sendiri distimulus setelah aku baca buku Generasi Langgas karyanya mas Yoris Sebastian. Sekilas dibahas di bukunya juga, standar millenials sekarang stay di satu kantor memang berkurang loh. Yang asalnya standar 4 tahun bekerja di satu perusahaan, dari perspektif mas Yoris sendiri, sekarang dua tahun pun sering dianggap cukup. Nah.. apakah ini terkait tingkat loyalitas? Atau memang semata-mata karakter manusia yang berubah secara kolektif?? Menurut kalian gimana?

Seketika itu juga aku pun jadi langsung inget satu nama: Handry Satriago. Yep! CEO GE (General Electric) Indonesia ini (one of my most favorite CEOs) sering kali menyampaikan kritiknya tentang posisi job hopper. Dari sejak lama. Makanya aku jadi penasaran nih, kalo liat kondisi zaman sekarang, bang Handry masih keukeuh kayak gitu gak ya? Atau jadi lebih fleksibel? Kira-kira apa ya yang dilakukan beliau untuk maintain para pekerjanya? Akhirnya aku tanyain langsung deh, dan dibales via email seperti berikut ini:

Screen Shot 2017-06-13 at 3.19.38 PM

Gaya nulisnya, bang Handry banget kan? ^^

 

Waaahh… ternyata bang Handry tetep konsisten sampai sekarang! 😀 Berarti, hmmm… yang pasti job hopper gak punya harapan tuh untuk masuk GE, hahaha… Well, perhaps giving values to employees is the key. Dan umumnya memang harus dimulai dan direfleksikan oleh leader-nya dulu dan nilai-nilai yang dibawa. Easy to be said, not easy to be done. Tapi semoga kita bisa nemu cara masing-masing untuk handle ini yaa. Semangat!!

 

Sore hari di Kantor Staf Presiden Lt.4,

sambil nunggu acara bukber bareng Pak Deputi

 

NB: Postingan ini juga dibuat dalam rangka hari ulang tahun Mr.Handry Satriago yang entah ke-berapa. Selamat ulang tahun ya, bang Handry! Sehat selalu. Dan semoga bisa jadi ayah yang rock n roll buat si kembar :3

Cara Efektif Promosi di Media Sosial

photo 2

Thank God It’s Women Meetup! (Tapi ada yang nyempil :p)

 

Well, untuk kalian yang kenal sama gw, mungkin tau kalo gw membuat sejenis business club khusus untuk perempuan, dimana gw dan tim berusaha menyediakan support system yang dibutuhkan buat para ciwi-ciwi ini menjalankan usahanya, termasuk pendanaan, mentorship, networking, dll. Karena masih belum resmi launching, anggotanya sih kebanyakan masih dari lingkungan teman, kenalan, dan kolega sendiri, berbasis di Bandung dan Jakarta. Untuk yang mau join, bisa colek gw via email aja untuk nanti gw undang di kegiatan-kegiatan selanjutnya. Karena sebenernya sih kumpul-kumpul offline-nya udah beberapa kali jalan, dan ternyata bisnis yang dijalanin perempuan itu emang seruuu banget! Haha.. Dari masalah kecil sampai tantangan besar selalu asik untuk dibahas. Dan kita jadi bisa sama-sama belajar dan saling support.

Nah.. ngomong-ngomong soal tantangan bisnis, satu waktu pernah juga ada yang nanya soal “gimana sih Han, sebenernya cara efektif marketing di socmed?” (sebut saja dia Mawar ^^). Dan ini adalah sekilas cuplikan obrolan kami:

Continue reading

MicroMasters: Cara Lain Masuk MIT!

capture-20170209-010844

Jeng jeng! Mistis abis.

 

Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba rasanya MIT memanggil aku, haha XD Hidup kok rasanya penuh surprise, apa yang terjadi malah selalu di luar dugaan, dan kayaknya kita cuma disuruh ngikutin aja. Jauh lebih sering pahit, tapi sesekali manis, yaudah lah, pasrah. Dan sekarang tiba-tiba dapet ilham untuk berusaha bisa lanjutin sekolah nanti ke MIT. Sekarang tapi nanti, gimana maksudnya coba? :))

Jadii ceritanyaa, aku baruu aja tau sama yang namanya program MicroMaster, yang padahal udah di-launch MIT dari tahun 2015. Yaitu gini… MIT bakal buka program master khusus mereka tahun 2019. Nah, tapi sebelum kesana, kita udah bisa mulai sebagian sekolahnya dari sekarang. Iya, dari sekarang! Caranya adalah, ngambil 5 course online via Edx, yang subjek-subjeknya udah ditentuin dan dijadiin 1 paket tergantung jurusan yang mau kita ambil. Di awal launching sih mereka baru buka jurusan SCM (Suppy Chain Management), dan saat aku nulis ini, mereka udah nambah jurusan baru, yaitu DEDP (Data, Economics, and Development Policy). AHAAAAAA!!

capture-20170209-014913

More coming soon, guys. Kalo jodoh gak kemana. #yazheg

 

Kalau udah lulus Edx, yang mana gak gampang banget juga (perbandingannya 40/27000 atau equal 1/675 berdasarkan data dari sini), kita bakal diminta ikut proctored exam. Bisa 1x final exam untuk keseluruhan, atau 1x exam per course (berarti total = 5 exams), tergantung program dan kebijakan mereka. Kebayangnya sih, yang namanya proctored exam, bisa kayak GRE gitu kali ya, tes beneran yang memastikan orangnya ada dan memang bisa. Bobot nilainya proctored exam:Edx = 60%:40%. Abis itu dapet surat lulus MicroMaster, terus bisa daftar program Master Degree, kuliah langsung 6 bulan deh di MIT, Amerika!

capture-20170209-011225

ngene loh ngono

 

Walaupun setelah aku googling-googling lagi sih aku nemuin ini:

“they will come to MIT for a single semester to earn an accelerated master’s. In the summer following their semester in Cambridge, Massachusetts, they will also complete a capstone experience — consisting of an internship and corresponding project report”

yang artinya secara total sih bisa jadi 6-10 bulan sampe bener-bener kita wisuda master, hehe.. Worth to try laaah…

Naah.. catatannya, yang ini kuliah online Edx-nya berbayar. Jadi sebisa mungkin memang harus committed. Tapiii… baiknya lagi adalah, biaya kuliah bisa disesuaikan dengan pendapatan masing-masing kita, dari $100-$1000 per course. Cocok juga lah untuk yang punya kegiatan lain, masih kuliah, kerja, atau berbisnis, karena jadwal belajar disini bisa fleksibel.

capture-20170209-012506

biaya sekolah tergantung pendapatan tahunan

 

Beberapa poin punya aku pribadi sih ini:

1. Untuk jurusan DEDP, aku seneeeeeenggg banget karena bidangnya ini juga rasanya Haniiii banget >,< Bakal belajar soal microeconomics (nyambung sama kerjaan), data analysis for social scientists (jiwa science masih bisa tersalurkan, dan juga main data!!! coz basically I’m an engineer), bakal ngomongin global poverty (yes! yes! I wanna help people, please!), dan juga belajar gimana cara mengembangkan sebuah policy (well, yang ini aku agak so so, walaupun kayaknya akan berguna juga kalo nanti tiba-tiba Hani kepilih jadi mentri ^^)

2. If only you know me, core-nya aku akan tetap seorang pengusaha (karena panggilan jiwa dan jalan hidup yang aku pilih untuk bisa bantu orang), tapi aku juga sangat suka belajar. So, aku akan selalu seneng untuk sekolah, sampe kapanpun. Dan di sini, tanpa iming-iming master degree-pun, sebenernya course-nya memang akan sangat berguna untuk aku implementasikan sehari-hari. The degree is just a bonus. Jadi apapun yang terjadi nanti, aku emang pengen pelajarin ini. Dan aku harap temen-temen juga punya passion yang sama, bersemangat justru karena proses belajarnya.

3. MIT is obviously a trend-setter. Sekarang akhirnya banyak kampus yang ikut mengembangkan program MicroMaster-nya mereka juga, ada Michigan Uni, Columbia, Curtin, Harvard (soon), dll. So, untuk yang pengen cek kampus lain atau bidang lain, kalian bisa langsung lihat disini (walau gak semua bisa lanjut ngampus beneran).

capture-20170209-012427

Oke, Pak.

 

4. Semua indah pada waktunya. Kok rasanya 2019 juga adalah waktu yang paaass banget untuk ini semua, karena sekarang aku sendiri masih sibuk ini itu, bisnis, sekolah, dll. Dan sampe 2019 nanti, semoga semua usaha dilancarkan, begitu pun untuk kalian semua.

5. Anyway, kok mereka lebih milih Edx ya dibanding Coursera atau OCW mereka sendiri? Hehe :B

6. Program MIT ini (SCM dan DEDP) adalah percobaan awal mereka menggunakan MOOC sebagai jalur masuk. Mana tau nanti mereka ganti lagi, jadi coba aja yuk!

Daaaannn… ayo daftar sekarang kalo mau bareng sama akuuuuu….!!! Kelasnya dimulai minggu ini, makanya aku buru-buru posting kali ada yang mau barengan^^ Kalo nggak, ya mesti nunggu lagi sampe ntar kelas baru berikutnya dibuka.

Ah, semoga semangat ini selalu membara di tengah-tengah segala stress dan kemumetan. *ketawa meringis*

Sekian dulu untuk kali ini. Seneng banget bisa ikut bercerita sama kalian. Sampe jumpa di kelas yaaa!! \:D/

 

Tengah malam dan kelaparan,

tapi malah lagi banyak yang pengen diceritain

 

 

PS: Thx to mas Aul, orang pertama yang ngasih info dan akhirnya ikut “ngeracunin” aku juga untuk ikut ini. Yuunowmisoweeell~~

Sumber: micromasters.mit.edu

Otot Baca dan #KelasMenengahNgehe

resize-buat-blog

Dapet langsung dari dan ditandatangan mas Siwo pas beliau ke Bandung.

 

Ceritanya aku baru beres baca buku Consumer 3000, yang sebenernya udah mulai dibaca dari November 2012. Mennn, 4 tahun yang lalu!! Buset >,< Orang bilang buku bisnis & marketing itu cepet banget outdate-nya, karena saking dinamisnya bidang ini. But for the sake of finish what I started, aku tetep pengen nyelesein ni buku. Ya kali kali masih ada insight yang relevan dan bermanfaat. Perasaan sih (yaelah, perasaan :p) beberapa tahun yang lalu tu aku udah baca sampe halaman 100-an lah, tapi entah kenapa berhenti tengah jalan. Dan tiba-tiba semalem, pas aku baca ulang, bener-bener dari awal lagi, I can finish this in only one sitting! Alias bisa baca sekali dan langsung selesai! (257 halaman). Eitss, bukan skimming dan fast reading juga ya. Aku tetep berusaha bacanya secara komprehensif. I read word by word, dan bener-bener berusaha paham. Caranya gimana? Adalah dengan ngebayangin kita harus ngajarin orang lain lagi tentang apa yang kita pelajari. Sehingga mau gak mau kita jadi berusaha untuk kitanya sendiri harus bener-bener ngerti dulu. Apalagi aku emang pengennya, tiap abis baca buku, sebisa mungkin nulis resume atau ulasannya. Biar kita gak cuma mengkonsumsi, tapi juga berpikir dan memproduksi sesuatu.

So, balik lagi ke judul, kenapa sekarang aku bisa one sitting reading, hmm.. aku pikir ini cukup membuktikan tentang yang disampaikan oleh para neuro-scientist tentang apa yang disebut “otot membaca”. Jadii.. menurut penelitian mereka, singkatnya, membaca itu memang bukan termasuk kemampuan alamiah manusia. Beda dengan melihat, bernafas, ngomong, itu semua terjadi lebih natural. Sedangkan membaca, itu kayak kita lagi cardio, yang kalo otot-ototnya mau jadi, ya berarti kita butuh banyak exercise. Dan karena reading habit aku sudah jauh lebih teratur (I read every single day min.1 hour), rasanya kayak hari ke hari ototnya jadi lebih kuat aja kalo mau sprint, baca buku tebel, essay panjang, jadi gak gampang capek dan cepet berhenti tengah jalan. And I think it is very useful, since reading is one of important skills that make me survive in life until now. So, I really recommend you to do also your routine exercise, no matter the duration. Just keep exercising. There are uncountable sources of knowledge out there waiting for us to learn, dan baca buku itu bagaimana pun beda dengan baca artikel, berita online, apalagi sekadar status teman di media sosial. Literasiiii… penting! #keukeuh X’D

Lalu.. Kelas menengah ngehe! Haha…

Sebenernya buku Customer 3000 ini fokus ke pembahasan tentang fenomena kelas menengah di Indonesia yang lagi tumbuh aja. Yang menariknya masyarakat (terutama netizen) nyatanya udah cukup punya pandangan sendiri juga tentang karakter dari si salah satu kelas ekonomi ini. Dan banyak dari mereka yang mencuitkan pendapatnya dengan hashtag #KelasMenengahNgehe.

Berikut adalah beberapa twit” “lucu” terkait #KelasMenengahNgehe:

This slideshow requires JavaScript.

 

Sedikit banyak cuitan-cuitan di atas cukup menggambarkan tentang kondisi kelas menengah di Indonesia, yang memang mayoritas tinggal di perkotaan. Mereka adalah yang secara pendapatan tidak merasa lagi dirinya orang susah, kebutuhan primer sudah terpenuhi, sehingga gaya konsumsinya agak naik level, walaupun sebenarnya tetap berhitung untuk mendapatkan keuntungan paling tinggi dengan pengeluaran paling sedikit. High-value oriented, kalo di buku #C3000 dibilang. Dan kenapa mereka sangat menarik sampe harus dibahas khusus? Adalah karena jumlahnya yang kini dominan, market potensial yang sedang tumbuh subur (kalo mau bikin bisnis baru, menarget kelas ini, pasarnya bagus!), tapi dengan karakteristik yang khas, dan perannya juga besar untuk membawa bangsa menjadi suatu kekuatan ekonomi di dunia. Pendapatan $3000/tahun per kapita adalah ambang batas suatu negara memasuki fase baru dalam perkembangannya, sehingga buku ini diberi judul Consumer 3000. Dan mas Siwo (panggilan Pak Yuswohadi, sang penulis) dengan lembaga risetnya ternyata sudah mempelajari fenomena ini dari tahun 2010 lalu. Cukup menarik pembahasannya dengan contoh-contoh konkret yang memang beliau temui dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun masih bisa diperbaharui secara ilmiah di sana-sini. Setidaknya berikut adalah poin-poin yang bisa didapat:

  1. Dengan GDP >$3000 sebenarnya dari beberapa tahun lalu Indonesia sudah tidak bisa lagi dikatakan masih negara berkembang.
  2. Kalo ngikutin ADB (Asia Development Bank) tahun 2005 sih, kelas menengah adalah yang pengeluaran per kapita-nya $2-20/hari.
  3. Tapii.. “It’s easier to rise from a low-income to a middle-income economy than it’s to jump from middle income to a high-income economy”. Dan faktor penting penyebabnya adalah: SDM & RnD
  4. Semoga Indonesia gak kena Middle Class Trap kayak Malaysia, yang mentok sebagai negara berpendapatan menengah. Beda dengan Korea Selatan yang akhirnya berhasil bertransformasi menjadi negara maju baru.
  5. Kelas menengah akan jadi tulang punggung ekonomi Indonesia karena kekuatan konsumsinya. Proyeksi di tahun 2020 kita bisa jadi urutan tertinggi ke-8 di dunia, dan di tahun 2030 posisi ke-4 stlh Jepang, Jerman, dan Rusia.
  6. Kemajuan Indonesia bisa menjadi kekuatan ekonomi besar dunia (yang diproyeksikan masuk 7 besar di tahun 2050) tidak lepas dari kebangkitan kelas menengah kita.
  7. Kunci kesuksesan Inggris memimpin dunia abad 18/19 pun adalah karena mereka, “The Great England Middle Class”.
  8. Bedanya kelas menengah Indonesia & Cina: di Cina, golongan middle of middle class-nya yang dominan, dan banyaknya orang desa, sedangkan Indonesia masih didominasi kelas menengah bawahnya, dan rata2 orang kota.
  9. Kelas menengah Cina ternyata menarik. Mereka jadi makin rakus dengan merk-merk terkenal, bahkan mulai menggeser Jepang sebagai pasar terbesar barang mewah di dunia, banyak disebut sebagai “Chinese Dream”.
  10. Cinta produk lokal jadi makin penting. Karena kalo konsumsi domestik terserap oleh industri & barang-barang impor, yang maju berkembang ya bukan kita, tapi mereka.
  11. Karakter kelas menengah masih sama, fokusnya bukan semata-mata harga (seperti kelas bawah) atau justru brand (kayak kelas atas), tapi lebih banyak di value.
  12. Kenapa kelas menengah penting: 1.Ada kelas wirausaha baru, 2.Karakter konsumennya, 3.Mengurangi kesenjangan, 4.Demand barang naik, 5.Punya kekuatan politik.
  13. Kelas menengah naik, OKB (Orang Kaya Baru) makin banyak. Bukan orang kaya beneran, tapi yang bergaya kaya. Mereka yang konsumsi barang-barang/jasa bukan lagi karena kebutuhan, tapi kadang cuma pengen.
  14. Karena ngerasanya “gak hidup susah lagi”, shopping exuberance merajalela, apa yang dibeli bermnfaat atau nggak bukan jadi isu utama mereka.
  15. Dengan makin umumnya kartu kredit, KPR dll, budaya konsumtif dan budaya ngutang makin tumbuh dan berbahaya, bisa bawa Indonesia ke krisis kayak di AS.
  16. Golongan yang lebih cerdas, akan merubah banking behavior-nya. Saat dana berlebih, tidak sekadar menabung, mereka akan mencoba berinvestasi lewat berbagai pilihan produk, seperti saham, reksadana, properti, emas, dll.
  17. Beberapa industri yang tumbuh subur = perbankan, kecantikan, kesehatan, MAL (dimana Jakarta juga adalah kota dengan mal terbanyak di dunia).
  18. Mereka sangat erat dengan narcism dan kebutuhan akan Social Experience.
  19. Peran sentral kelas menengah: 1.Sebagai konsumen, 2.Sebagai pelaku ekonomi, khususnya entrepreneur pencetak lapangan kerja, 3.Pelaku politik, mendorong demokrasi.
  20. Catatan untuk pemasar yang membidik pasar ini: make horizontal mobile marketing. Bukan cuma broadcast tapi raise engagement. Get permission, don’t interrupt.

Nah.. begitulah kira-kira tentang kelas menengah kita. Untuk yang tinggal di kota, pasti sangat menyadari eksistensi mereka di tengah-tengah kita. Yang jelas, buat aku pribadi sih, setelah baca buku ini dan buku-buku sejenis yang lain, manfaatnya adalah bisa maksa diri untuk lebih berkaca aja, bikin mawas diri biar lebih cerdas dalam mengelola mindset dan prioritas keuangan. Supaya gak jadi korban zaman, apalagi jadi beneran “ngehe”, sampe merelakan hidup susah demi gaya hidup (keliatan) mewah. Karena sesungguhnya yang penting bukanlah penampilan, tapi laporan keuangan sungguhan dan isi buku tabungan, ya nggak?? Dan cerdas berinvestasi! Duuh.. PR banget nih. Semangat!!!

 

Siang hari, sambil agak kelaparan di kantor,

tapi semoga makin pinter bedain keinginan dengan kebutuhan

Hal-Hal Random Tentang Bisnis #1: Pandangan & Saran Praktis

img_6957

Pas int’l symposium di Flinders Univ, presentasiin policy brief yang disusun dari 3 bulan. Temanya soal gender, tapi karena otak bisnis, jadi tetep aja ngambil judul dari sektor ekonominya

 

Bad, bad, bad, bad, bad habit. I suppose to do something else, do my job, finish task, and set projection, but instead, I’m writing this blog. Karena eh karena, tidak lain tidak bukan, si Hani kalo otaknya lagi kepenuhan, mau gak mau perlahan harus dikeluarin, dan nulis itu biasanya bikin aku ngerasa bisa agak ngerapihin yang semerawut lalu lalang di kepala. Makanya jangan heran kalo si Hani kemana-mana pasti bawa buku kecil sama pena. Semua yang sekelebat di pikiran pasti harus langsung ditulis, dan ni otak kayak gak pernah berhenti kerja. Mikirrr terus.. Bahkan sejujurnya kadang dalam tidur pun rasanya masih tetep mikir. Absurd memang, ya begitulah. Makanya mari kita segera selesaikan saja tulisan ini.

Sesuai judulnya, ini adalah daftar hal-hal random seputar menjalankan usaha. Bukan tulisan komprehensif, apalagi bahasan mendalam tentang topik tertentu. Anggap aja lagi ngintip isi kepala Hani, walau gak semuanya bisa dibagi di sini. Yang umum-umum aja ya…

  1. Saat setup usaha baru, kita tetep harus punya projection plan yang jelas. Contohnya: target berapa user yang pengen didapet dalam 1 bulan, 1 tahun, atau target omset di hitungan output. Intinya, sesuatu yang MEASURABLE.
  2. Fail to plan = plan to fail. Clear.
  3. People don’t give up on the job. Most of them give up on the boss. And I experienced it myself, I gave up on (whatsocalled) a boss, so I left. Learn from that, keep employees’s trust and respect is one of our main jobs.
  4. Sepengen-pengennya kita akrab sama karyawan, kalo mau dapet respek, memang harus bikin barrier. Dulu, aku termasuk yang pengen selalu (sok) asik sama orang, sama siapapun, karena rasanya termasuk mahluk inklusif yang pengen baik sama siapa aja. Tapi dalam urusan kerja, ternyata bikin “batasan” itu emang perlu. Kalo rasa segan udah pudar, tingkah laku juga bisa jadi lebih santai, cenderung lebih seenaknya.
  5. Referensi bank yang cocok untuk startup: Bank Permata dan CIMB. Personal advice.
  6. E-money itu ternyata menarik untuk dipelajari dan ditelisik. Jadi ceritanya, katanya sih berdasarkan kartu e-toll aja (yang mana pengguna punya deposit dana di kartunya), itu total floating money-nya bisa rata-rata Rp.1,7 trilyun/bulan. Uang nganggur semua. PER BULAN. Dan kebayang lah, sistem e-wallet juga kayak apa. Kalo kartunya rusak atau ilang, ya ilang juga lah saldo kita (padahal kan uang benerannya di bank masih ada). Dan dari sisi bank ybs yang nyimpen si dana, setelah 1 tahun mereka punya otoritas untuk make capital itu, suka-suka mereka. Dan ada bank yang make dana tersebut jadi anggaran micro-lending nya mereka. Micro but huge. So, with the right technology system, you can do many things.
  7. E-commerce dan online shop makin banyak, tapi pertumbuhan payment gateway belum terlalu signifikan dan krusial. Dan ternyata masalah utamanya masih ada di customer behavior. Orang yang belanja online, rerata closing-nya masih lewat chat. Mereka hanya akan make, contohnya: paypal, doku, ipaymu, hanya kalo dipaksa. Misalnya Air Asia, yang dulu maksa customer-nya harus pake kartu kredit kalo mau dapet tiket promo online. Akhirnya ya mau gak mau, yang gak punya kartu kredit pun bahkan ngebela-belain mesti pinjem punya temennya.
  8. Tiba-tiba keinget omongannya om Wiwit dulu, direkturnya C59. Suatu waktu beliau pernah bilang pas ngisi workshop: “Kalian jangan ngaku pinter deh kalo belum jago nyari duit!”. Hmm, buat yang sensian, gak usah ngerasa offended dulu ya. Bukan berarti semua harus dinilai sama uang. Tapi menurut aku sih ini makes sense. Intinya, pinter paripurna itu adalah yang bukan cuma jago teori atau jago ngomong, tapi juga jago praktek. Dan ini bisa diliat dari output, yang salah satunya adalah materi. Buat penyemangat aja. Jadi kalo kalian ngerasa pinter, ya harus semangat buat buktiin.
  9. Se-awam-awamnya pemilik bisnis soal ekonomi atau akuntansi, ngerti dasar keuangan itu penting. Nyatet dan ngatur arus masuk/keluar, misahin dana pribadi dengan usaha, baca dan pahami data keuangan buat bikin tindakan selanjutnya.
  10. Working capital = Current assets – Current liabilities.
  11. In balance sheet, Assets = Liabilities + Net Worth.
  12. Se-gaptek2nya CEO tech-startup, minimal harus ngerti dasar teknologi soal bisnisnya, dan kemampuan lain yang yang akan sangat berguna adalah story telling, jago cerita soal apa yang dikerjain, apalagi kalo bisa disalurkan lewat tulisan juga.
  13. Produk bagus, marketing jelek, gak sukses. Tapi produk jelek, marketing-nya bagus, bisa sukses.
  14. Jangan beli barang gaya hidup secara kredit untuk urusan pribadi (bukan perusahaan). Tunda kesenangan kecil demi dapet kesenangan yang lebih besar nanti.
  15. Even sama temen, kalo soal bisnis semuanya tetep harus item di atas putih. Termasuk kalo kerjasama. Bukan gak ngerhargain pertemanan, tapi justru sebaliknya. Ini harus dilakukan buat antisipasi resiko biar hubungan tetap terjaga. Kalo udah soal duit, semua sering runyam.
  16. Dengan segala ketidakpastian tentang terlalu banyak hal, sering aku berpendapat bahwa, yang berani maju bisnis sendiri itu pribadinya mentally 70% proven, gak perlu ditanya lagi
  17. Dan kadang juga berpikir kalo orang-orang kayaknya harus pernah nyoba jalanin usaha sendiri walau entah bagaimana. Ini ngaruh ke empati. Aku sering ngeliat orang yang gak puas sama suatu produk, contoh: pernah punya pengalaman buruk sama sesuatu, terus banyak yang sering mencak-mencak ngamuk gak keruan dan kadang nyebarin berita yang bertendensi menjatuhkan. If you’re a businessman, you’ll know that every thing needs process and maintain a business is not easy at all, no joke. Dan seiring tumbuhnya usaha kita, kayak semakin kecil toleran yang bisa dikasih sama masyarakat. Ini bukan membenarkan kesalahan ya, tapi tentang empati dan tidak terlalu judgemental aja.
  18. Manage usaha dengan baik secara remote dari jarak jauh itu too good to be true, susahnya bukan main, kecuali udah bener-bener well-established dan anggota tim kerjanya pada bagus. Jadi, kalo belum rapih banget, emang mending jangan sering ditinggal-tinggal. Heu..
  19. Muslim yang baik itu hidupnya memang sederhana, tapi bukan berarti berpenghasilan sederhana juga. Kita HARUS bisa kaya raya, niati agar bisa berbuat baik lebih banyak.
  20. If you’re self-employed or have full authority of time, have an “office” and “office hour” is still compulsory, to create the working rhythm, mindset, and discipline.

Nah.. kayaknya segitu dulu deh untuk edisi kali ini. Gak kerasa udah 20 nomor aja. Masih banyak, jadi aku pastiin ini akan ada lanjutannya. Sampai jumpa nanti pas Hani lagi absurd berikutnya ya!

 

Siang bolong depan laptop di meja kantor,

buru-buru balik ngerjain kerjaan lagi

Winning Australia Awards Twice And Becoming An Anomaly

alhamdulillah

Thank you, Australia!

 

Well, actually everything happened so fast, til I didn’t really aware what was coming over me. Just a week after I submitted my application (at the very last minutes of deadline) for Short Term Award Scholarship, I directly received an email that it was successful and I got selected to be an awardee of AAS (Australia Awards Scholarship) once again. HOoOoO o.O

For me personally, it proved one point, as written on my late post, that every time you were brave to take a step, even though you were not sure where it would led you to, it surely would take you somewhere, while hesitation to move would just bring you nowhere. I never expected that my decision for taking fellowship scholarship in Flinders Uni would give me so much benefits, even after the program ended. One of them is, I am already categorized as an alumni of Australian university, and by that, many opportunities opened. I was invited to join the alumni network, to attend the alumni events, to make connections among great people, etc, beside as an alumni, there is also a chance to apply for grant scheme to fund our business activities that making impact for people, and this, which just brought me here, to apply for a special scholarship for alumni.

I felt nothing to lose when I applied this special scholarship, remembered that I just came back from my fellowship in Adelaide months ago (9 months to be precise, not even a year, aight?) and the new scholarship I was applying titled “Transformational Business Leadership – for Outstanding Alumni of Australian Universities”, so that the awardees must be valued as outstanding persons, no? But what made me eager to apply was, the fact that the program would be run in the coolest uni in Australia, The University of Sydney (that Hogwarts look alike campus), and that we would study about economy/finance, subjects that urgently needed by me to run my business better. And perhaps, God had a plan for me, so TADAAAA… I got it, and here I am again, in the pre-departure workshop altogether with other fellows who will leave and study in Sydney later. And I’m becoming an anomaly.

2

2nd day of the 3 days pre-departure workshop

 

Why I call myself an anomaly? Well… After flocked with other awardees, I found facts that:

  • Everyone in this group had graduated and got degree from various Australian uni long time ago. Some of them finished their bachelor in Oz, most of them got their master degree, and the rest even already got a Phd title from there. But me. I’m just a fellowship graduate by all means. Only me.
  • All the people here have crucial positions in their well-established companies, national and multi-national, senior managers and or directors who are averagely aged 40’s. But me. I’m the one and only still living in my 20’s and working in a relatively new venture. I’m the very youngest one and have no peers, literally.
  • Most of them have background in finance and or working in such field, but.. me again X))

Yea, but chill. Instead of feel alienated, I think that I’m privileged to be among them, to be given a chance to learn much from experienced people, and to do acceleration. Sometimes lonely, like “am I really belong here??”, but.. well, lets just take the bright side anyway.

img-20160914-wa0036

funny how to call them (who aged as my father) class mates

 

So, as I noticed right after the workshop started, different from my previous AAS, where not all my class mates could speak English well, in this current group, I can see that everybody’s really smart and everybody has a very good English (otherwise, they wouldn’t graduated from Oz and become global business leaders, eh?). It makes the class and discussions so much alive. Anyone can participate and share their well thoughts and experiences. And it is very very exciting! We are assisted directly by one of the directors of Sydney Uni Business School, Prof.Robin Stonecash, and the program leader, the funny smart Kyle Arthars, sooo much fun!!

img-20160914-wa0027

Kyle is so tall so you can always notice him right away

 

So, for those who ask me whether this program is related or is the sequel of my previous AAS, no, it is not. It’s completely apart, yet given from the same scholarship provider, funded by the Australian government.

And so what I can share with you from winning the AAS twice are:

  • I think AAS are very concerned in making impacts of their programs. So (especially for the long-term awards), they look for candidates who can give influences or create changes. That’s why some people may say potential awardees mostly come from the government institutions, rather than who work in private company, because they are more likely to be the persons who have authorities to make policy or something that will affect to the society.
  • The rule above also somehow applied in short-term award. If you’re not a PNS or working for the government, for targeting the objective of making impact, it’s good for you to have an important role in your company or institution, because in common perspective, if you do so, as you educated, there are not only you who will be benefited, but also (directly and indirectly) your environment and people in surrounding.

    Based on these two, my tip is: when you apply, tell them clearly about your role, and show them how influencing you are.

  • Another hint from me; Australia has special concern in particular subjects, such as women empowerment/gender equality, people with disabilities, and development in rural areas. So if you want to biggen your chance in winning their scholarship, you can tell them how you involve in those issues. If you are a disabled person, I strongly recommend you to apply, because instead of be ignored, you are more likely to be prioritized. I can guarantee that. (And don’t worry, Australian environment is adequately inclusive)
  • Become an alumni of Australian Uni will bring you so many advantages, so that you should not miss the chance to be a part of it. Moreover, when this post published, AAS do even have (very) short courses that only take 2 weeks.
img-20160913-wa0009

my bag is ready

 

And what make the short-term award special:

  • We don’t have to provide any certificate of English proficiency (maybe it can help, but not compulsory). They asses fully based on our CV, applications, and essays.
  • They will help to make our student visa. In my case, I give them the data, and the AAS officer proceed it to the embassy.
  • The stipend and facility are a bit higher compared to for the long-term awards
  • Most likely, you will be gathered with leaders of the industry.
  • To maximize the output, the program must be including business visits, networking events, and social programs for you to experience Australia way more.

So, what are you waiting for? For Indonesian, you can check to australiaawardsindonesia.org for looking for suitable program for you. Meanwhile, I’ll be finishing my pre-departure workshop and preparing for my next journey in Sydney very very soon. Wish me luck, guys!!

 

In the cold un-air conditioned hotel room,

still absorbing today’s material and trying to fit in these grown-up people

INNOCAMP 2016: Awal Seleksi & Kurangnya Imajinasi

img_9671

20 besar di 1st Camp. Ada yang individu, ada yang memang nge-tim berdua.

 

Tadaaa…!! Here I am again, in a tech-based business competition. Can you believe it? me not XD Sejujurnya sih… di masa-masa ini… aku kayaknya udah agak segan gitu ikut kompetisi-kompetisi lagi. Rasanya udah pengen bener-bener fokus jalanin bisnis aja. Konsen.. fokus.. Karena kenyataannya pun, juara di lomba itu beda dengan juara di dunia nyata, hehe.. Mungkin kalian juga paham maksudnya.

Tapiii.. godaan datang saat liat video ini! :B

Huaaa… Gimana cobaaa…

Ikut. Nggak. Ikut. Nggak. Ngitung kancing gak beres-beres, akhirnya, “nothing to lose aja deh.. lagian pede amat belum tentu lolos juga”, lol.

Lalu.. yang akhirnya bikin aku ikut itu kayaknya utamanya karena 3 hal: juri+mentornya keren-keren, hadiahnya juga oke (ke Google Jepang!), dan ini emang khusus untuk anak muda (sampe 35 tahun siihh), yang jelas kan kita gak akan muda selamanya! Jadi ayolah, selagi masih termasuk muda, mari kita manfaatkan 🙂

Maka akhirnya aku submit lah aplikasi ke mereka dan juga bikin video, mepeeeettt banget sama deadline. Temanya adalah berhubungan dengan bisnis teknologi, yang waktu itu pengajuan aku adalah tentang Home Solar Leasing, atau kredit solar panel untuk rumahan. Karena kebetulan itu salah satu lini bisnis yang memang ingin aku garap, dan kegiatan ini juga digagas oleh Adira, salah satu perusahaan multi-finance terbesar di Indonesia.

capture-20161206-090128

Sumber: innocamp2016.com

 

Singkat kata, amazingly, dari (lupa) berapa ratus, aku dapet email bahwa aku lolos tahap 1, dan mereka ngadain seleksi tahap 2 berupa interview via video call. Aku bener-bener gak tau kami mau ngomongin apa. Dan ternyata di hari H, ada dua orang dari pihak penyelenggara yang muncul di layar hape yang malah nanyain pertanyaan-pertanyaan absurd!

Continue reading

Some of My Biz Field Visits in Adelaide and What We Can Learn From Them (Part I)

Okay. Some of you might have known that I got a fellowship from the Australian government in Flinders University, but probably wonder what exactly it is and how the program runs. Well… actually it all depends on its subject. And since my subjects are about business and social studies which are based in a university, so that the learning delivered through the combination of variety of guest lectures, intensive trainings, and field visits, academical and practical knowledge abridge, in order to have strong fundamental theoritically, yet we can implement them in effective ways.

Lecturing, training, field visit. Which one is my favorite? Oh yeah, definitely the outside class sessions!! Ehehe… We visited many respectable government offices and enterprises, but because I tend to always bring my business head, I want to share about the business side and parts that I think are interesting for me personally, my business, and my lovely hometown, Bandung =)

Because there are too many, I will divide the summary into several parts. And these are the first ones:

1. Adelaide City Council

img_2682

Located in the heart of the city, it’s very close to my apartment, and I always passed the office every time I go to Rundle Mall from Flinders Campus xD From my first weeks in Adelaide, I was amazed with their initiatives. You can find brochures about the City Council Programs in many places, including campuses, city library, etc. They run soo many programs, yet some of which attracted me are:

a. Digital Hub

Not everyone can operate a Macbook. Not everyone can optimize Windows either. Not everyone even knows how to use the e-library. Digital skill is one of the 21st century “must have” skills (I think). But even in Australia, there are still many people who do not acknowledged yet about how to use those electronics (and of course, especially aged people). For the younger generation, the level may be different. More advanced, perhaps. (Hey, look at me.. sometimes I’m also still face trouble with the Mac OS, zzz :|)

The point is… along the technology improvement, our people are also always need to be updated.. rite? And how the Adelaide Digital Hub do that?

They provide a free training for specified subjects, even one-on-one training with a trainer. And how did they get the trainers? They hire and open for volunteers (there are benefits for those who applied). Australian citizenship is not compulsory. Anyone can get involved, anyone can learn together. And they even eager to know what kind of training that we currently need. Remember… investing in people is investing in long-term business, too.

Bandung? I’m sure we can do this!

b. Adelaide Business Start-Up Grants

12144784_1638756136376928_4357546327155150290_n

meeting with some stakeholders in Tonsley

You know, I can feel that the City Council is really encouraging for people setting up a business in this city. And for this year, they run this grant program. If I want to open my business in Adelaide, they can grant me up to $30,000 and use the under-utilized public building here. Surely it has terms and conditions. That number may only cover no more than 50% of the total cost, and there are common rules that we have to follow. But hey, it’s tempting, isn’t it? And it can also help them to grow a sustainable economy and optimize the unused land.

One of my Indonesian fellows, mba Rizna, the owner of @bakpiapia from Yogyakarta has applied for this grant, had a meeting with their representative, and I really hope everything goes well, so we can observe more about the opportunity provided. The City Council told her that if this program succeeds, they plan to make it an annual program, yeay! \o/

For Bandung? Our mayor has launched the “Kredit Melati” for the SMEs. It is also a good sign of his will. Just hope it will persist and grow to help our society starting up a business.

And hey hey hey, wait! I just remember that we also have that “Little Bandung” store program. How about to make it in Adelaide? I guess I should talk with kang Emil after this. G to G must be a lot easier (?), moreover for this good partnership. Another “Little Bandung” store in South Australia, how cool is that? 😀

c. Sustainable City Incentives Scheme

IMG_1613 (111)

Solar PV is everywhere >,<

This one is what I’m really craving for, aaaakkk…!! ~~\o/ The City Council is really aware of environmental issues. They provide funding for residents, business, schools, community, and organizations that want to help to reduce carbon emission, conserve energy, water, and natural resources! D*mn cool!!

The incentives scheme can provide up to $5,000 for us installing solar PV, or energy storage, electric vehicle charging controller, building energy efficiency upgrade, changing out quartz halogen to LED, solar hot water system, rain water tanks, etc. THAT-JUST-COOL!

I’m not sure if it is possible to be implemented in Bandung, or even in any city in Indonesia. But yea… we can learn from this :’)

People-Planet-Profit. That’s all connected to make sustainable system.

d. The City Adelaide Prize

IMG_3306

around the city, we can see many design installations side by side with the heritage buildings

The Adelaide City Prize is an annual prize to encourage people to propose and nominate projects that activate and enliven the city. The projects can be of any scale and may include buildings, public art installations, landscape works and temporary contributions to public space that actively engage the community and enhance the city’s public spaces.

I think the keywords are “brainstorm ideas for urban design”. And Bandung? With our mayor who comes from architectural engineering background? It is more than just possible! X) We had this in the latest “Babakan Siliwangi Design Prize”. And maybe  we can develop more in wider cover range ^_^

The more livable a city, the more dynamic the sectors within.

 

Whuff! Even only from the City Council, I already write this long >,< Okay.. just 2 more for the rest of this part…

 

2. City of Prospect

12115779_1030317190333504_2049142128309324790_n

the bus that pick us up to the City of Prospect library

In brief, my first impression of this is… it’s like BCCF! (Bandung Creative City Forum), even though it’s not really similar. The City Prospect has established more than one century! It is also area based. There are some acres allocated to be part of the community. They build their own infrastructure, and the development covers several aspects of economy, technology, and social. The similarity comes from the idea that they help the local government to achieve their missions, related to city improvement, people involvement, (hobby based) community engagement, kind of that sort. Then I think, aha! We already have this. And I feel more grateful because in Bandung, we have a potential strength that not all cities in the world have; we are dominated by youth &/ productive-aged people. (And fyi, our population is twice as many as in Adelaide).

Collaborations across sectors are opened widely. And in Bandung, we are… people who love to collaborate =)

IMG_4157

City of Prospect Digital Hub. Interestingly, the word “PROSPECT” is ended by “CT”

S__8740965

with Matt Grant, the director of business and economic development of City of Prospect, who said that he has visited some co-working spaces in Bandung and met Yohan Totting, one friend of mine, too (Uwh yeah Yohan, who doesn’t know you? :)))

 

3. SASS Place

12038541_10205134736183622_8031622222160004528_n

Carly, the founding director

I have ever mentioned it in my Facebook post, but I want to re-write about this place. This is a co-working space which also became my exploration in making paper/policy brief in Flinders University, one that I presented in the symposium, observe the possibility how if we adopt the concept for women in SMMEs in Indonesia, to optimize their contribution in the country’s economy.

For those who not yet have an idea what kind of place it is, here is my brief explanation: SASS Place is a co-working space located in the city of Adelaide, with their tagline; A Hub For Female Change Makers. Sooo interesting! Why? In fact, I’m also interested in making a co-working space, but I’ve never thought that women could be the specific target market. During the visit, we shared a lot with the founder, including what I know about how it is going in Indonesia. Emerging business model which is still struggling to survive, and so does in Australia. But owh, really… the idea has attracted me. Women have special needs and concerns. In SASS, they even provide child care and space for breast feeding so that women who have kids or in pregnancy could feel accommodated. Women should support other women. And by that, their husbands (&/families) are also feel safer, because they know that their partners are working in a “less man” area :B

Women who are renting spaces here come from various industries. Then I wonder.. how if we adopt it in Indonesia? Who’s with me? 😀 (spoiler: some of institutions in Australia interested to be the donor)

Blog770px-sass-place-creche

the child-care space in the 1st level

12036952_10206602434493351_7251459769778500006_n

space in level 2

both+listings+(4)

glance of the main place

12049682_10206602435293371_8733655353637697470_n

one of the dedicated rooms

A women only co-working space. What an exciting idea. But along the process, I become consider about the current situation. There is also a chance to implement the gender perspective in the existing co-working spaces. Instead of making a new one, we can also persuade private sectors who already run the (mix) co-working spaces to make their spaces women friendly. This is in their own business interest as with the increasing number of women entrepreneurs in Indonesia, such spaces can become more profitable.

To point this objective, my group, made a recommendation to The Ministry of Women Empowerment and Child Protection in Indonesia. They can play a vital role in establishing guidelines for the private sectors on what constitutes a women friendly work space. And actually they can also help the women entrepreneurs through their channels for funding, marketing, and other supports. What do you think? 😀

Whuff! There are still visits I want to share. But I think it is enough for this time. I will continue with the next posts. But before I end up this part, don’t forget to leave a comment below. Any ideas and advises are appreciated :*

 

Who wish  you for always having a great day,

 

Hani Rosidaini