Biasanya isu ini ramai diperbincangkan di bulan April, yang identik dengan “bulan perempuan”, terutama karena ada Hari Kartini. Tapi aku nulis ini di bulan Mei, agak sedikit menyatakan bahwa, isu ini memang selalu menarik kapanpun pembahasannya.
Lumayan ter-trigger saat jadi salah satu pembicara di talkshow-nya Microsoft Indonesia, aku jadi pengen nulis beberapa poin terkait isu “Women in STEM” ini, terutama di Indonesia. Aku bukan sedang mau liputan kegiatan tempo lalu, karena kalau untuk itu, temen-temen bisa baca di media online seperti Femina, Cosmopolitan, CewekBanget, atau media-nya Microsoft sendiri, dll. Secara praktis, ringkasannya ada di situ. Tapi aku justru lagi pengen share poin-poin yang mungin terlewat dan bisa jadi bahan diskusi lanjutan untuk kita semua. Yaitu:
- Ambiguitas di “Women in STEM”
Atau lebih tepatnya mungkin over-generalisasi.
Setiap kali ngomongin “Women in STEM”, menurutku kalau mau lebih jelas, sebenarnya kita harus definisikan dulu “Women in STEM” mana yang dimaksud. Karena sejauh ini, sering bercampur antara women leader in technology industry dengan women engineer or scientist who really do the “dirty job” (technical, scientific, or systemmatical work). Bagaimanapun ini distinctive untuk kita melanjutkan ke bahasan selanjutnya.
Aku tahu beberapa CEO atau direktur perempuan di industri STEM yang basically mereka gak punya kemampuan teknis. They’re totally business persons. Main orientation = money/impact. Maka dari itu, bahasan-bahasan yang bisa didiskusikan dengan mereka adalah lebih ke bagaimana cara mencari talent dengan skill oke, dinamika bisnis teknologi terkini, menyeimbangkan kehidupan profesional dengan pribadi, dst. Sedangkan untuk perempuan-perempuan yang memang berkecimpung langsung dalam kegiatan “ilmiah”-nya, kita bisa menggali lebih dalam lagi hal-hal yang lebih teknis, tentang apakah suatu sistem sudah ramah perempuan, apa yang memotivasi untuk bisa terus update dengan riset terbaru, metoda apa yang berpotensi dikembangkan untuk menyelesaikan masalah di Indonesia, dll. Orientation = knowledge/applied technology.
Ya memang ada juga business women leader yang punya kemampuan teknis. Dan hal ini akan terkait ke poin berikutnya, yaitu…
2. Jalur Karir
Di banyak perusahaan, seorang engineer tidak dipersiapkan untuk jadi CTO (Chief Technology Officer), tapi malah dibelokkan menjadi analis atau project manager. Hal ini disebabkan karena banyak yang menganggap posisi tersebut lebih tinggi, padahal sebenarnya pindah jalur. Miskonsepsi lagi jika perempuan dianggap pasti lebih cocok di posisi tersebut. Padahal yang satu teknis, satunya lagi manajemen. Bagaimanapun, saat sudah menduduki kursi manajemen, topi insinyur harus digantung, dan role akan jadi sangat berbeda.
3. Pentingnya Women Business Leader in STEM
Menyebutkan poin-poin sebelumnya, tidak artinya female engineers jauh lebih penting dibanding menempati posisi direktur di industri STEM. Kita tetap butuh perempuan-perempuan untuk menempati posisi strategis di perusahaan, karena perempuan lah yang paling mengerti betul kebutuhan perempuan di lingkungan kerja tersebut. Dan jika memiliki kekuatan/otoritas, kita akan mampu menyuarakan isu, membuat peraturan/kebijakan, dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan atau akomodatif untuk semua gender.
4. Pentingnya Female Engineers
Melihat fakta yang ada, kita juga membutuhkan lebih banyak female engineers yang punya kekuatan untuk mengubah sistem secara teknis agar lebih akomodatif untuk perempuan. Karena menurutku teknologi pun memiliki kecocokan psikologinya masing-masing. Contoh: Linux. Ambil sampel aku sendiri (haduh, permisi ya permisi :s). Sungguh, sejujurnya aku sendiri sangat tertarik pake Linux. Tapi menghadapi layar kosong dan cuma bisa berinteraksi dengan komputer pake command line itu kesan pertamanya cukup mengerikan. Terlalu banyak ketakutan yang bisa dengan gampang bikin kita mundur, atau mungkin maju, tapi sangat perlahan-lahan. Atau mungkin contoh lainnya: develop game. Jelas game perempuan beda jenisnya dengan laki-laki. Dan kalau developer game-nya adalah perempuan, mestinya ya game tersebut bisa lebih akomodatif juga.
5. Perbandingan Indonesia Dengan Amerika
Kalau harus berkaca ke pusat teknologi dunia, Amerika, sebenarnya banyak yang harus kita syukuri terkait isu “Women in STEM” ini. Karena jika membahas tentang seksisme di dunia teknologi, di US jelas lebih parah daripada di Indonesia. Di sebagian negara maju lain pun, perempuan di lingkungan kerja mengalami kesenjangan bahkan dalam hal pendapatan untuk pekerjaan yang sama. (Contoh lain: di Australia) Perempuan bisa dibayar lebih rendah daripada laki-laki hanya karena dia perempuan. Sedangkan spesifik di industri STEM, bisa juga berkaca, salah satunya lewat buku Sheryl Sandberg (COO Facebook) yang berjudul Lean In (baca review-nya di sini), bahwa banyak kendala dan tantangan yang sekiranya di Indonesia tidak terjadi karena justru di negara kita lebih akomodatif (entah berapa kali aku udah nyebutin kata ini).
Isunya sekarang adalah, jumlah female engineers di Indonesia lebih banyak daripada di US. Tapi jumlah CTO Perempuan di sana kenapa bisa lebih banyak. Dan hipotesa sementara adalah terkait kultur. Jadi bukan traits yang inherent di perempuan, stereotip bahwa perempuan lebih gampang bosan, emosional, dll. Karena data menunjukkan, skill atau kapabilitas untuk satu role itu gender-less, siapapun bisa.
6. Isu Work-Life Balance
Well… Ini adalah salah satu isu utama sebenarnya, bukan hanya di “Women in STEM”, tapi perempuan di lingkungan kerja pada umumnya. Aku sendiri kalau lihat direktur perempuan hebat, yang aku tanya pasti dua hal: cara mengatur perusahaan, dan cara me-manage keluarga sekaligus. Dan atas dilematika yang muncul, bahkan dari kalangan antar-perempuan sendiri, menurutku, jika kita ingin mengembangkan “Women in STEM”, kuncinya adalah: Stop mendikotomikan perempuan! :B Dikotomi ibu rumah tangga dan wanita karir hanya akan membuat kotak yang tidak perlu. Seolah-olah perempuan hanya bisa memilih salah satu dan mengorbankan yang lainnya. Ini sungguh sumber drama yang tidak penting. Belajarlah dari wanita-wanita hebat, maka akan kita temui para pemimpin perempuan yang simpatik yang juga sekaligus mereka adalah para ibu yang profesional.
(Kalau kata Bu Gezang dan Bu Deborah, tips-nya utamanya adalah: wajib cari pasangan hidup (suami) yang tepat :3)
7. Role Model
Semakin banyaknya role model perempuan dalam industri STEM akan mempengaruhi perempuan-perempuan lain dalam melihat kesempatan yang ada. Bahwa banyak posisi yang bisa perempuan tempati, baik di teknis maupun strategis. Ditarik lebih jauh lagi ke pendidikan dasar, bidang-bidang keilmuan pun harus lebih banyak disosialisasikan agar masyarakat tahu sedini mungkin tentang cabang ilmu luas yang bisa dipelajari, profesi yang bisa dikejar, termasuk oleh anak perempuan.
Dan aku jadi inget video bagus dari Microsoft seperti berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=y5soEtBwH0Y (coba tonton deh >,<)
Akhir kata, kesimpulan aku sejauh ini adalah, masih sama dengan kesimpulan aku sewaktu pulang belajar dari Australia tentang gender study, bahwa perempuan dan laki-laki itu memang butuh treatment yang berbeda jika ingin sustain. Namun jika terkait urusan pekerjaan, sebagai perempuan, kita sendiri harus berani bersikap profesional dan menyatakan bahwa, “No, I’m not a female engineer. I am an engineer”.
5 Mei 2018,
Salam hangat dari Jakarta,
dari aku yang juga badannya masih hangat
PS:
- Terima kasih kepada pihak Microsoft yang sudah memberi kesempatan hadir di acaranya
- Hormat dan respek aku juga untuk Microsoft Indonesia yang mendukung “fleksibilitas kerja”, dan hal-hal lainnya yang akomodatif untuk perempuan berkarir di Microsoft
- Catatan aku ini juga terinspirasi dari obrolan santai di halaman Facebook-ku bersama teman-teman. Jadi terima kasih untuk Pandu Sastrowadoyo, mas Sumyandityo Noor, dkk 😉
- Jangan lupa stay cool be awesome untuk semua “Women in STEM” di luar sana. Yoms! \m/