Review Buku ‘Good Economics for Hard Times’; Saat Dua Nobelis Membuat Buku Bersama

Akhirnya gw baca buku ini. Sebenernya udah ada di library Kindle gw dari lama, gara-gara yang nulisnya dua nobelis terkenal MIT: Esther & Abhijit. Tapi akhirnya baru gw bener-bener baca, karena gw mau ngambil kelas mereka di MIT Micromasters, yang kebetulan topiknya diambil dari buku ini, dan bahkan jadi salah satu course baru di program Micromasters berjudul sama: Good Economics for Hard Times.

Jujur, buku ini adalah “buku ekonomi” pertama gw, jadi gw gak punya preseden sebelumnya dan ekspektasi isinya akan seperti apa. Untungnya, ternyata isinya gak teknis sama sekali, gak ada persamaan-persamaan matematika, cuma ada beberapa grafik sederhana yang mudah dipahami. Topiknya membahas isu-isu global yang dianggap sangat penting (setidaknya oleh sang penulis), seperti: polarisasi yang semakin parah, migrasi, perdagangan, diskriminasi, pertumbuhan (growth), pendidikan, krisis iklim, dan aturan pajak. Secara umum, buku ini jadi ngasih gw gambaran gimana cara seorang ekonom berpikir dan melihat sesuatu, yang akhirnya bikin gw juga jadi punya framework baru. Di buku ini, penulis mencoba menjabarkan masalah-masalah di atas dengan penjelasan yang lebih detil dan caveat yang dirasa harus diketahui, dibanding hanya membuat statement yang kategorikal, seperti: imigrasi itu baik, atau free trade itu pilihan yang lebih bijaksana.

Banyak poin-poin yang menarik untuk orang non-ekonomi kayak gw, seperti:

  • Migrasi. Umumnya ekonom menganggap bahwa migrasi itu baik, tapi kenapa sih banyak orang umum khawatir dengan isu ini? Ternyata ya karena banyak orang bicara berdasarkan persepsi. Kekhawatiran mereka didasarkan pada teori supply & demand; semakin banyak imigran, upah penduduk asli (native) akan menurun. Padahal kenyataannya, teori supply & demand tidak berlaku di konteks imigrasi. Berdasarkan data sebenarnya, migrasi meningkatkan demand for labor sekaligus meningkatkan supply dari labor itu. Jadi teori supply demand bukan deskripsi yg tepat untuk menggambarkan bagaimana migrasi bekerja.
  • Masih dalam konteks migrasi, native sebenarnya tidak perlu khawatir, karena mereka bisa mengambil pekerjaan yang berbeda dengan para imigran. Misalnya, pekerjaan-pekerjaan yang lebih butuh banyak kemampuan komunikasi. Keuntungan lain dari kedatangan imigran adalah, perempuan-perempuan native juga jadi lebih bisa bekerja di luar rumah, karena imigran bisa bantu bekerja di child care, dll. Native pun bisa melakukan restrukturisasi pegawai dan biaya pegawai pada bisnisnya, dibanding mengadopsi teknologi (memperlambat proses mekanisasi).
  • Tanpa hambatan eksternal, sebenarnya tantangan internal pun kuat di para imigran. Atau bahasa lainnya: sebenarnya mereka sendiri pun sudah punya banyak barrier utk migrasi. Tidak semua orang punya niat dan keberanian untuk pergi meninggalkan kampung halaman. Jangankan pindah negara, pindah dari desa ke kota saja tidak semua orang mau, bahkan walaupun di desanya dia kekurangan.

  • Perdagangan internasional. Jika dilakukan dengan tepat, sebenarnya keuntungan yang didapat oleh negara-negara yang lebih kecil dan miskin, bisa lebih besar daripada negara-negara kayak seperti USA.

  • Diskriminasi. Dalam banyak kasus, sering diperkuat oleh diri sendiri. Contohnya: orang akan bersikap berbeda pada saat mereka diingatkan tentang identitas kelompok mereka, yang menyebabkan mereka lebih ragu lagi pada dirinya sendiri. Saat sebuah kelompok dikatakan bahwa mereka adalah kelompok A yang berkarakter kurang baik, kelompok tersebut jadi menganggap bahwa mereka memang punya kekurangan.
  • Diskriminasi dalam konteks perpecahan atau segregasi, obatnya adalah familiarity. Jadikan kelompok tertentu menjadi lebih familiar di kelompok lainnya, sehingga mereka punya lebih sedikit atau tidak ada resistensi terhadap kelompok berbeda.

  • Growth. Topik growth adalah topik yang panjang, menarik, dan gw sendiri jadi belajar banyak. Intinya adalah, para ekonom bisa memprediksi bagaimana negara-negara bisa berkembang (growth-nya positif), tapi mereka sulit untuk memprediksi bagaimana saat mencapai titik tertentu, growth itu bisa terus positif. Di sini gw jadi berkenalan dengan dua ekonom terkenal dunia, yaitu Solow dan Romer, dan membandingkan teori keduanya. Modelnya Solow menggambarkan bagaimana GDP, growth, capital & labor akan menemukan titik seimbangnya, dan model Romer mengenalkan tentang diminishing return. Salah satu narasi utama Romer: gagasan bahwa keterampilan dibangun di atas satu sama lain dan menyatukan orang-orang terampil di satu tempat bisa membuat perbedaan.
  • Baik di model Solow maupun Romer, driver dari long-run growth adalah inovasi teknologi. Tapi kendalanya, ini tidak bisa diadopsi begitu saja oleh negara-negara yang miskin.
  • Saat membandingkan growth, kita bisa mengambil contoh negara kaya VS negara miskin, seperti Amerika dan India. Di USA, inovasi didominasi oleh perusahaan besar yang punya kapital, sehingga menyebabkan perusahaan kecil mati. Sedangkan di India, perusahaan besar growth-nya gak tinggi, tapi jadinya perusahaan kecil juga gak mati.
  • Perusahaan keluarga yang dijalankan penerus keluarga alih-alih memilih orang luar yang berkompetensi, growth nya kecil.
  • Di sini gw juga jadi belajar bahwa ada yang namanya causality problem. Bukan hanya ‘correlation does not mean causation‘, tapi kita harus memisahkan cause & effect. Katakanlah dalam konteks growth dan pendidikan. Tidak serta merta kita bisa menyimpulkan bahwa pendidikan menyebabkan growth, karena bisa jadi sebaliknya, growth yang tinggi (positif), menyebabkan pemerintah punya budget untuk melakukan perubahan-perubahan dan mengadakan lebih banyak pembangunan sehingga pendidikan pun menjadi lebih baik.

  • Pemanasan global. Cost terbesar dari isu ini akan ada pada dan dialami oleh negara-negara miskin (karena berbagai faktor termasuk lokasi dan kondisi cuaca), walaupun sebenarnya di sini berlaku 50:10 rule: 10% populasi dunia (polutan tertinggi) berkontribusi pada 50% emisi CO2, sedangkan 50% polutan berkontribusi pada 10% emisi.
  • Sebuah penelitian menemukan bahwa kenaikan suhu 1 derajat C pada tahun tertentu mengurangi pendapatan per kapita sebesar 1,4%, tetapi itu hanya di negara-negara miskin. Konsekuensinya tidak hanya pada pendapatan, tapi juga pada kesehatan.
  • Penduduk di negara miskin, pada saat terjadi kenaikan suhu, katakanlah mereka jadi harus memakai mesin pendingin (AC). Tapi ini akan menimbulkan dilema, karena gas HFC dari AC itu lebih berbahaya dari CO2. Akhirnya mereka harus memilih: ingin menyelamatkan manusia hari ini (dari kepanasan) atau menyelamatkan manusia di masa depan (dari bumi yang semakin panas).

  • Di buku ini, gw juga jadi diperkenalkan bahwa di dunia ada yang namanya robot tax, yaitu pajak yang diterapkan ke mesin/robot (mekanisasi), kecuali jika produktifitasnya memang sangat tinggi. Hal ini juga direkomendasikan oleh Bill Gates, dan Korea Selatan menjadi negara pertama yang mengaplikasikannya.
  • Ada yang namanya ‘Horss and Sparrow theory’ (teori kuda dan burung pipit), yaitu: manfaat pertumbuhan akan datang dengan mengorbankan beberapa ketidaksetaraan. Idenya adalah bahwa yang kaya akan diuntungkan terlebih dahulu, tetapi yang miskin pada akhirnya akan diuntungkan.

Mengingat bahwa penulis buku ini adalah dua orang pemenang nobel, menurut gw, buku ini sangat enjoyable, tulisannya ngalir, bacanya kayak dengerin orang lagi cerita, dan gak banyak jargon kayak orang-orang yang lagi mau show off bahwa mereka intelek. So, skor 8 dari 10. Terima kasih, Esther dan Abhijit. Doakan saya lulus course kalian dengan nilai super bagus! Amin.

Di kamar,

Sambil nyelesein PR dari materi-materi DEDP >,<

Apakah Buku ‘Filosofi Teras’ Worth the Hype?

Flight pulang mudik Balikpapan-Jakarta

Sori kalo judulnya provokatif. Tapi kenyataannya, gw pun baca buku ini karena jadi “korban provokasi” obrolan kaum urban. Bahkan dalam berbagai situasi percakapan, buku ini sering disebut. Lantas apa yang membuatnya spesial? berbicara tentang filosofi stoikisme, ini jelas bukan buku dasarnya, bukan juga buku pertama dalam bahasa Indonesia. Tapi saat gw baca buku ini, dia udah jadi mega best seller, dimana yang gw pegang sendiri udah cetakan ke-25. Uwow.

Begitu gw baca bagian pengantar, jujur, hook-nya menurut gw dapet banget. Om Piring (panggilan dari Henry Manampiring, sang penulisnya) langsung cerita “Saya menderita major depressive disorder’ atau simpelnya “saya didiagnosa depresi (oleh psikiater)”. So, buku ini bukan cuma tentang apa itu stoikisme, tapi lebih ke stoikisme dan relevansinya dengan kehidupan dia pribadi. Itu menurut gw cerdas dan jadi terasa tulus kenapa dia akhirnya nulis buku ini. Gw malah jadi belajar cara menulis buku dari sini. Kalo cuma ngomongin “stoikisme adalah.. bla bla bla”, om Piring bakal kalah dengan para pakar filosofi, karena dia sendiri bukan doktor di bidang itu. Text book tentang stoikisme pun sudah relatif banyak. Untuk orang-orang yang betul tertarik, akan mikir “ngapain gw baca buku ini? mending baca tulisan para filsuf Romawi atau Yunani langsung aja”. Untuk nulis buku teori, penulis harus saling adu kredibilitas. Tapi untuk nulis pengalaman pribadi, gak ada yang lebih kredibel dibanding orang itu sendiri. So, memadukan “text book” tentang prinsip-prinsip dasar stoikisme dengan perjalanan hidup adalah formula yang menarik, dan akhirnya gw jadi nerusin baca buku ini, alih-alih karena ingin jadi ahli Stoa, gw lebih pengen tahu gimana si Stoikisme merubah hidup dia.

Secara umum, efek dari buku ini ke pembaca akan tergantung dari latar belakang pembaca tersebut. Gw ngebanyangin, kalo gw belum pernah denger apa itu stoikisme sebelumnya, kayaknya impresi gw akan ngerasa buku ini sangat breakthrough dan life-changing. Tapi karena gw udah agak familiar dengan stoikisme dan konsepnya tentang berfokus pada yang bisa kita kontrol (atau yang di buku ini disebut ‘dikotomi kendali’), efeknya jadi gak terlalu se-wah itu. Tapi kalo dari tulisannya sih, kayaknya om Piring termasuk kategori orang yang pertama. Doi nulis ini di 2018 setelah nemu buku wajib filsuf Stoa di toko buku, artinya ini konsep yang baru dia temukan saat itu, dan jadinya terasa mencerahkan, sehingga dirasa harus dibagikan ulang. Tapi walau demikian, gw tetep belajar banyak kok dari buku ini.

Kelebihan buku ini adalah dia memberi contoh penerapan prinsip-prinsip Stoa dalam kehidupan sehari-hari, misal: dalam menghadapi hal (yang dianggap) buruk yang simpel seperti macet, haters, jatuh, ditolak, sampai menghadapi hal gelap seperti kematian. Ini menegaskan bahwa Stoikisme relevan di semua lini, tanpa pandang bulu, dan bahkan sampai sekarang, setelah lebih dari 2000 tahun konsep ini diperkenalkan.

Untuk melengkapi catatan pengalaman, om Piring juga bawa pasukannya dari berbagai latar belakang, ada yang psikiater psikosomatis, psikolog, (self-claim) Stoa, dan (non self-claim) praktisi Stoa. Ini memperkaya bukunya dengan berbagai perspektif lain, yang menurut gw efektif.

Ngomong-ngomong, alasan judul buku Filosofi Teras dipilih, ternyata ya memang literal, karena filosofi Stoa diajarkan di teras XD

Di luar dikotomi kendali, tetep banyak yang gw pelajari dari sini, karena om Piring menjelaskannya dengan lebih dalam. Beberapa poin yang gw highlight:

  • Konsep yang paling menarik perhatian gw: practice poverty. Katanya Stoa menganjurkan kita untuk latihan menderita secara rutin. Kenapa? Karena kesenangan apapun (kekayaan, ketenaran, makanan, sex, dll) jika dialami terus menerus, dia akan menjadi norma dan rasanya jadi biasa saja. Jadi para Stoa menganjurkan kita untuk sering-sering “turun level”. Misal: biasa makan enak, cobalah 4 hari seminggu makan makanan murah dan standar. Atau kalau biasa kemana-mana naik mobil, cobalah lebih rutin naik motor. Tujuannya, untuk merasakan kembali nikmat atas apa yang telah kita miliki, yang berdampak kita bisa lebih bahagia.
  • Emosi adalah bagian dari rasio yang membentuk opini. Saat kita merasakan emosi negatif, itu karena opini kita menyatakan bahwa sesuatu itu buruk. Begitupun sebaliknya. Saat merasakan emosi positif, itu karena opini kita menyatakan bahwa sesuatu itu baik, Para Stoa akan melihat segala sesuatu sebagai netral, tidak baik dan tidak buruk. Ini akan ngasih diri kita kunci untuk mengendalikan emosi tersebut.
  • Jika opini berkaitan dengan masa kini, yang muncul adalah rasa senang atau rasa sesal. Tapi jika berkaitan dengan masa depan, maka yang keluar adalah perasaan iri atau takut. Walau yang ditakutkan tidak kejadian, merasa takut saja sebenarnya sudah ada “ongkosnya” (cost of worry), yaitu: energi pikiran, waktu dan uang, juga kesehatan tubuh.
  • Aplikasikan STAR; Stop – Think – Assess – Respond. Intinya, saat terjadi sesuatu, jangan dulu bereaksi. Stop dulu, pikirkan, pisahkan sesuatu itu dengan opini atau persepsi kita, baru ambil pilihan terbaiknya yang bijaksana.
  • Di buku sempat disinggung juga tentang CBT atau Cognitive Behavioral Threapy, dimana dinyatakan oleh pakarnya bahwa CBT mendukung filosofi Stoa, karena kognitif berpengaruh pada perilaku, begitupun sebaliknya, perilaku bisa mengubah pikiran. Untuk yang kepo tentang CBT, bisa nonton video Youtube aku berikut ini: (hehe, malah promo)

So, kembali ke pertanyaan di judul, apakah buku ini worth the hype? Karena isinya positif, gw sih bilang worth it 😀

Filsafat masih sering terasa jauh dari kalangan umum, dan buku ini bisa jadi pengantar anak muda ke dunia filsafat dengan santai sambil juga belajar cara hidup yang menenangkan internal diri. Selamat buat om Piring atas puluhan kali cetaknya. Aku sih yes.

Setelah menyelesaikan si buku hanya dalam 4 hari,

Hani Rosidaini

PS: Untuk yang tertarik bergabung klub Stoic Indonesia di Facebook, bisa cek link ini

ADHD Berdasarkan Buku ‘Driven to Distraction’

Oslo, 2022

Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya di postingan blog yang ini, saya baca buku ‘Driven to Distraction’ (yang orang bilang buku klasik tentang ADHD) untuk mengenal lebih jauh tentang “disorder” ini, yang ternyata jadi bisa sembari mengenali diri sendiri juga. Beberapa poin di buku ini yang saya highlight adalah:

  • Singkatnya, ADHD adalah sindrom neurologis yang bisa didefinisikan sebagai segitiga yang terdiri dari impulsifitas, kemampuan untuk lebih mudah terdistraksi, dan hiperaktif atau kelebihan energi.
  • ADHD bukanlah ketidakmampuan belajar atau disleksia, dan tidak ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan. Faktanya, banyak orang ADHD justru sangat pintar.
  • Karena pikirannya yang bisa “terbang bebas”, salah satu hal positif yang bisa ada pada orang ADHD adalah kreatifitas, dalam melihat masalah, mencetuskan solusi, dan berpikir di luar kotak. Tapi sisi lainnya, bisa sangat tidak sabaran, dan mudah ambil kesimpulan.
  • Menyuruh orang ADHD untuk bekerja lebih keras, itu seperti menyuruh orang rabun untuk memaksa melihat dengan lebih memicingkan mata. It missed the biological point!
  • ADHD lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Belum diketahui apa penyebabnya, tapi bukti yang ada menyatakan faktor genetik adalah penyebab paling umum.
  • Salah satu komentar dari seorang dokter yang bernama Russell Barkley: Orang ADHD punya kemungkinan 40% lebih besar untuk bercerai, dan 30% kemungkinan lebih besar untuk jadi pengangguran.
  • Treatment yang bisa dilakukan untuk orang ADHD: Diagnosis – Edukasi – Strukturisasi diri – Coaching dan/atau psikoterapi – Pengobatan.
  • Kenapa diagnosis sudah dianggap suatu treatment? Karena beda dari kebanyakan disorder yang lain, seringkali membuat diagnosis saja sudah bisa memberikan efek terapetik pada orang ADHD. Seperti menemukan cahaya, orang ADHD yang awalnya tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sekian lama, akhirnya bisa menemukan jawaban tentang kondisi sebenarnya.
  • Strukturisasi diri yang dimaksud di atas adalah membuat struktur dalam hidup dengan menggunakan check list, reminder, schedule, dan ritual. Karena orang ADHD pikirannya mudah terdistraksi dan bercabang, maka itu harus dibuat agar lebih rapi, dengan cara simplifikasi jadwal. Misal: hari Senin adalah hari mencuci baju, hari Selasa hari melakukan B, hari Rabu khusus C.
  • Pengobatan pada ADHD bekerja dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan kimia dari neurotransmitter yang ada di bagian otak orang ADD yang meregulasi tingkat atensi, kontrol impulsi dan mood.
  • Seringkali, orang ADHD kesulitan menyelesaikan pekerjaan adalah karena sudah kewalahan duluan membayangkan tugas besar yang ada di depan mata. Maka, salah satu cara mengatasinya adalah tidak membayangkan hasil akhir, tapi break down tugas menjadi hal-hal kecil yang bisa dilakukan saat itu juga. Hanya pikirkan yang bisa dilakukan menit itu.
  • Orang ADHD bisa bekerja dengan lebih baik saat berada dalam grup dan selalu mendapatkan dorongan. Akan sangat baik jika orang ADHD memiliki support group dan coach yang bisa memberikan feedback dan motivasi terus menerus untuk menjaga agar selalu on-track.
  • Metoda yang bisa digunakan oleh coach (yang dimaksud di poin atas): HOPE. Help (tanyakan apa yang bisa dibantu) – Obligation (tanya apa kewajiban yang ada sekarang) – Plan (tanya apa rencana untuk menjalankan kewajiban tersebut) – Encouragement (terus motivasi dan yakinkan bahwa dia bisa)
  • ADHD bisa bermacam-macam, bisa dibarengi oleh sindrom yang lain juga, seperti depresi, borderline personality, OCD, dll.
  • Jika sudah terdiagnosa ADHD, penting untuk lingkungan tahu, agar mereka mengerti, karena bagaimanapun pembawaan ADHD akan berpengaruh pada hubungan sosial.
  • Orang ADHD akan sangat suka kota-kota besar.

Masih banyak poin lainnya, tapi lebih lengkapnya silakan baca langsung bukunya. Untuk skor buku ini, saya kasih 9/10, karena dia tidak membosankan sama sekali. Malah saya yang sering terbawa emosinya karena membaca pengalaman orang-orang yang diceritakan di buku ini. Terima kasih, Edward & John!

Sambil menikmati malam ke-4 lailatul qodar,

Hani Rosidaini

PS: Akun/profil Goodreads saya ada di sini. Silakan add jika berkenan.

David VS Goliath: Kekurangan Adalah Kelebihan Yang Buffering

photo6120654904965048342.jpg

 

Hi, long time no see. Kali ini adalah edisi iseng bett di tengah deadline ini itu. Hanya sebuah review buku. Silakan disimak saja :3

Ada yang udah baca Outliers? Atau Tipping Point? dari Malcolm Gladwell? Buku beken banget memang itu, tapi aku malah belum juga sih 😛 Bukunya Gladwell yang pertama kali aku baca akhirnya malah yang ini: David & Goliath, Underdogs, Misfits, And The Art of Battling Giants. Setengah bagian pertama exciting, setengah terakhir.. so so 😬 (tapi tetep #WorthToRead).

Yang ini pun sebenernya udah lama selesai dibaca, tapi poin-poin dari materinya masih sering aku pake untuk menyampaikan sesuatu ke orang. Dan mungkin ini juga bisa jadi insight lain untuk temen-temen. Apa itu? Ini dia:

 

1. Kisah David & Goliath.

Ini aslinya legenda sejuta umat, tapi (setelah ngobrol sana/i) ternyata banyak orang yang gak ngeh. Padahal kisah ini dasarnya ada di kitab-kitab suci juga, termasuk Alkitab ibrani dan Qur’an (kalo di Qur’an namanya jadi Daud & Talut). Ceritanya adalah tentang pertarungan Goliath, si raksasa yang pake full body armor dan terkenal kuat, melawan Daud dari kaum seberang, masih keliatan muda, badannya kecil, bahkan pas bertarung, ngangkat pedang pun dia gak mau, karena tahu itu bakal bikin dia kewalahan. Semua orang udah pesimis lah lihat Daud. Goliath juga jd nantangin “Maju sini lu!”, begitu kira2-kira :p

Nah, disinilah akhirnya kita diperkenalkan dengan konsep “Advantage of disadvantage & Disadvantage of advantage”. Kelebihan2-kelebihan dari Goliath, yaitu berbadan besar, pake peralatan logam banyak, dll, itu bisa jadi kelebihan, tapi juga bisa jadi kekurangan. Karena apa? Karena akhirnya itu malah bisa bikin dia jadi gak lincah bergerak, pandangan terbatas, dll. Makanya Goliath nantangin David maju. Bukan karena apa, tapi ya emang karena area serangan dia yang sebenarnya terbatas. Yang akhirnya itu dimanfaatkan oleh David. Ukuran dia yang kecil, malah bikin dia jadi lebih lincah. Dari awal David tahu, kalo bertarung biasa kayak di arena, jelas dia bakal kalah, makanya dia akhirnya lebih pilih pake strategi lempar batu dari jauh diketapel, yang akhirnya nancep di jidatnya Goliath, dan akhirnya bikin si raksasa ini tumbang. Setelah tumbang, akhirnya dihunus pedang, dan mati.

Nah.. konsep inilah yang akhirnya nancep juga di aku bahwa nyatanya semua hal itu bisa kita jadikan kelebihan, tergantung cara berpikir. Misal: kita punya UKM, mesti bersaing dengan perusahaan gede. Secara psikologis mungkin udah jiper duluan, tapi kalo dipikir-pikir, skala kita yang kecil juga punya keuntungan, yaitu jadi lebih fleksibel dan adaptif untuk berubah, dibanding perusahan besar yang punya birokrasi dan gak bisa begitu aja ambil satu keputusan. Contoh lain yang paling nyata: keadaan ekonomi. Mungkin untuk orang yang kondisi ekonominya lemah, itu dianggap sebuah kekurangan, tapi padahal bisa juga dijadikan kelebihan. Kelebihannya apa? Orang susah itu (relatif) lebih tahan banting dan menghargai sesuatu. Kalo orang kaya dari sononya? Begitu jadi orang susah, belum tentu mereka tahan, dan mereka pun jadi cenderung kurang menghargai uang atau fasilitas, karena ya dianggapnya biasa aja. Begitu. Jadi, apa kekuranganmu? Coba pikir lagi itu adalah kekurangan apa bisa jadi sebaliknya? ^^

 

2. Inverted U Curve (Kurva U terbalik).

C64IcTfVoAA72GS.jpg

Ini adalah konsep yang applicable juga dalam hidup, bahwa berbagai hal itu ada kurvanya, yang bentuknya seperti U terbalik (atau kalau di notasi matematik jadi kayak lambang irisan). Coba bayangkan kurva itu di kepala kalian, nah kalian pasti kan akan menemukan titik balik dari setiap kurva, dari yang asalnya naik jadi turun, atau kalo gampangnya kayak anti klimaks. Ini berlaku dalam banyak hal. Misal paling gampang: makan sate itu enak, tapi di satu titik, keenakan itu berubah jadi eneg. Atau, ngebesarin anak dalam keadaan berkecukupan itu enak, tapi di satu titik, ya si anak akan jadi keenakan dan kurang punya daya juang. Mislead yang banyak terjadi: nyekolahin anak di kelas eksklusif jumlah murid sedikit itu top, tapi padahal gak juga. Terlalu banyak murid di satu kelas memang gak bagus, fokus guru terlalu terpecah dan tiap anak jadi kurang maksimal, tapi murid sedikit juga bisa bikin kumpul ide terbatas dan interaksi diantara mereka kurang hidup. Jadi tantangannya untuk kita adalah: gimana cara menemukan titik keseimbangan dalam berbagai hal, agar hasilnya bisa tetep maksimal, dan yang penting gak ada yang serba terlalu.

Demikian kira-kira yang aku petik dari buku ini. Outliers sama Tipping Point-nya masih ada di book list, semoga bisa segera dibaca dan kita bandingkan 👌🤓

 

Jakarta, September 2018,

di tengah-tengah sedih juga karena kantor batalin trip ke Argentina tiba-tiba

Gaya Berbisnis ala Yoris Sebastian

 

yoris-sebastian

Sumber gambar: bit.ly/2uAIuGE

 

Always start anything with a quote! “Always. – Haniwww, 2017

Aloha!

Mungkin diantara kalian ada yang yang belum familiar dengan sosok yang akan kita bahas ini. Sosok yang identik dengan dunia “creative entrepreneurship”, dan bahkan sudah seperti “ikon”-nya untuk Indonesia. Setiap ada kegiatan bertema “kreatif”, pasti selalu ada namanya tercantum. Untuk perkenalan mendasar, dengan mudah kalian bisa temukan dengan mengetik namanya di halaman pencari ^^ Kebetulan saya beberapa kali bertemu dan berinteraksi dengan ybs, dan menurut saya ada dari gaya atau ciri khasnya yang bisa kita pelajari. Well.. sebenarnya sudah beberapa kali sih saya bahas tentang sebagian dari buku-bukunya yang dia tulis di blog, seperti di artikel ini dan ini, tapi kali ini kita akan spesifik membahas tentang caranya berbisnis dan bagaimana dia melakukan branding 😀

Nah, mari kita mulai terlebih dulu dari bagaimana saya mengenal seorang mas Yoris (panggilan saya kepada pria yang lahir di 5 Agustus 1972 dan pernah mengeyam pendidikan akuntansi ini). Haha.. setelah flashback, ternyata ceritanya lucu juga loh!

Jadii.. waktu itu pertama kali berinteraksi adalah saat menghadiri roadshow “Black Innovation Award 2012” #BIA2012 (kompetisi desain produk kreatif) di salah satu kampus di Bandung. Saya juga agak-agak lupa persisnya bagaimana, tapi twit teman saya ini akhirnya cukup mengingatkan kejadian di hari itu:

capture-20170812-232859

Fani jelas lebih g4oL dari akoohh

Haha, dat was mee! Waktu itu aku beneran gak tau Yoris Sebastian itu siapa. Cuma kayaknya sih waktu itu langsung main nyapa aja karena emang ngerasa pernah ketemu XP Kalau gak salah di salah satu pertemuan kecil BCCF (Bandung Creative City Forum) yang di tahun itu masih diketuai kang Ridwan Kamil (loong time ago, sekarang aja kang Emil udah mau jadi gubernur ^^). Waktu itu saya cuma nebak mas Yoris temennya kang Emil, udah. Sampai saat ketemu lagi di #BIA2012 dan dia jadi pembicara sebagai salah satu juri, then I thought “Owwkayy…”. Dan secara beruntungnya saya juga menang kuis di hari itu, sehingga bisa dapat bukunya dan jadi mulai mengenal mas Yoris dari hasil buah pemikirannya dalam tulisan.

76081e546e8611e1989612313815112c_7

Di #BIA2012. Review bukunya “Keep Your Lights On” ada di link ini.

Lama berselang saya tidak pernah lagi punya kesempatan untuk bertatap muka. Hingga akhirnya di tahun 2014 saya pindah ke Jakarta dan (lagi-lagi) secara beruntung terpilih oleh Samsung mendapatkan business coaching bersama seorang Yoris Sebastian, di acara yang bertajuk #CaptureYourBigness. Dari situlah awal mula saya mengenal gayanya dalam berbisnis. Kala itu mas Yoris masih menjalankan creative agency-nya OMG CONSULTING, sambil juga mengelola sebuah hotel/resort di Bali dengan konsep yang berbeda. Makin menarik.

IMG_5682

Selected participant for #CaptureYourBigness.

Paska #CaptureYourBigness, intensitas meningkat karena kami jadi saling follow di twitter dan berteman di Facebook, sambil saya juga berlangganan tulisan mingguan mas Yoris di website pribadinya yang selalu tayang di hari Senin, sehingga diberi nama #ILoveMonday (sama seperti program rancangannya dulu saat menjabat sebagai GM Hard Rock termuda di Asia). Tulisan-tulisannya jadi pemantik nalar saya bagaimana dia bisa membangun image dirinya sekreatif itu. Sampai di tahun 2016 kami bertemu lagi, dan dia menjadi mentor sekaligus juri saya di kompetisi bisnis berbasis teknologi #INNOCAMP2016. Hyah~

IMG_9767

#INNOCAMP2016. Dapet hadiah sebagai “The Most Relevant Personal Story” saat sesi karantina.

Yaa begitulah kira-kira kisahnya. Sekilas gambaran cerita untuk sedikit menjustifikasi tulisan saya berikut ini.

Dari semuanya itu, poin-poin berbisnis ala mas Yoris yang saya tangkap ialah:

  • Bagaimanapun luasnya pengetahuan kita, pastikan kita tetap punya core competence yang bisa terus dibangun. Mas Yoris bisa muncul sebagai konsultan di berbagai bidang, dari mulai desain, BUMN, teknologi, bisnis, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya, karena dia membangun core competence bukan berdasarkan jenis industri, tapi justru berdasarkan skill yang dibutuhkan, yaitu “creative thinking”. Hal ini menginspirasi saya untuk akhirnya memilih core competence yang ingin dikuasai.
  • Memaksimalkan bisnis sampai dua buah saja, lalu membuat rasio 70:20:10. 70 untuk yang primer, 20 yang sekunder, dan 10 sisanya untuk mencari ide-ide baru.
  • “Orang banyak nyari bisnis yang untungnya gede. Gw pengen bikin bisnis yang ruginya susah”. – Yoris Sebastian
  • Jangan terjebak dengan slogan “Go Bigger”. OMG Consulting (sejak tahun 2007) menjaga jumlah timnya tetap sedikit tapi bisa tetap berkembang.
  • Sebisa mungkin bangun bisnis yang walaupun berkembang, penggunanya bertambah jutaan, tapi resource kita bisa tetap minimum. Karena itu..
  • Harus bisa bayangkan seandainya bisnis kita besar, itu akan seperti apa. Berapa banyak sumber daya yang akan dibutuhkan. Kalau ternyata malah akan buat diri sendiri menderita ya untuk apa.
  • Disiplin dengan jadwal. Termasuk dalam undangan menghadiri acara. Walaupun sebenarnya bisa saja mengisi banyak seminar dimana-mana, tapi dia selalu membatasi kuantitasnya per bulan (biasanya hingga sekitar 8 acara), karena jadi pembicara pun butuh riset dan cerita-cerita otentik yang baru.
  • Untuk pebisnis-pebisnis pemula, awal proses bisa dimulai dengan bertanya pada diri sendiri: “Who Am I?”, menelisik dan mendefinisikan elemen-elemen dari diri kita. Karena kredensial kita bisa jadi datang dari hal-hal bawaan, seperti lahir dan tinggal dimana, passion, image, dan juga pergaulan dan bentuk lingkungan.
  • Visi boleh besar, tapi mulailah dari orang-orang di sekeliling yang memang kenal.
  • Patenkan unique brand: Penting! Di tahun 2016 mas Yoris bahkan sudah mematenkan istilah #GenerasiLanggas yang telah dicetuskan oleh timnya, sebagai padanan bahasa Indonesia untuk kata #millenials.
  • Do your incubation right.
  • Tagline yang selalu didengungkan: “Think outside the box, but execute inside the box”. Kreatif itu boleh (dan seringnya harus) tapi jangan sampai keblinger. Dalam bisnis tetap harus relevan dan menghitung cost & benefit-nya. Karena bagaimanapun objektifnya adalah meningkatkan omset dan memperbesar profit.

 

Sedangkan beberapa pendapat saya sendiri terkait personal mas Yoris dan caranya bekerja:

  • Orangnya humble dan sangat terbuka dengan ide-ide baru dari orang lain, termasuk dari kawula muda. Karena toh pada akhirnya “experience can prove the greatness itself”.
  • Menarik juga melihat mas Yoris selalu peduli dengan orang-orang yang sudah dia beri mentorship. Biasanya jika ada mentee-nya yang menarik perhatian, mas Yoris berusaha tetap meng-update progress-nya dan mempelajari apa yang bisa dihasilkan.
  • Pintar me-leverage prestasi. Daftar pencapaiannya sering disampaikan secara halus di momen yang memang sesuai secara konteks, sehingga bisa meningkatkan kredibilitasnya di bidang spesifik.
  • Menulis buku adalah cara yang sangat powerful untuk membangun branding dan memperkuat kapabilitas.
  • Kadang saya berpikir branding personalnya terlalu kuat, hingga beresiko untuk perusahaannya jika suatu waktu tiba-tiba harus ditinggalkan. Maka semoga legacy-nya selalu ada, terutama pada para punggawa tim.
  • Berpikir kreatif itu memang harus selalu dilatih.

Nah.. demikianlah kira-kira yang saya dapat dari perkenalan selama ini. Semoga berkenan dan bermanfaat. Untuk kalian yang juga kenal mas Yoris, menurut kalian gimana? Tinggalkan komen di bawah ya! Bisa juga berbagi cara berbeda kalian dalam menjalankan usaha. Sampai ketemu di tulisan berikutnya! 😀

 

Menulis cepat di Sabtu siang di daerah Jakarta Selatan,

sambil posting foto di Instagram untuk program #LanggasToEurope

 

PS: Tulisan ini juga dibuat dalam rangkan memberikan selamat ke OMG Consulting yang sedang berulang tahun ke-10. Uwooo, ihiyy! Happy birthday ya! Semoga semua tim-nya makin kreatif dan sejahtera 😀

Ngobrol Bareng CEO GE Tentang Job Hopper

1529878_10204353449891953_6789690541724118329_o (1)

Pas Infrastructur Green Summit di Jakarta

 

Job hopper = kutu loncat di industri kerja (Kamus Besar Haniwww, 2017)

 

Sebenernya sih fenomena job hopper memang bukan hal baru, apalagi di kalangan anak muda. Berdasarkan data, di generasi kita, yang pindah dari satu kantor ke kantor lain karena berbagai alasan jumlahnya lebih banyak. Mungkin karena memang masih ada keleluasaan dan kesempatan dibanding dengan yang sudah berumur. Terutama kalau sudah berkeluarga, orang jadi punya lebih banyak pertimbangan jika harus mempertaruhkan posisi yang mereka punya.

Nah… untuk temen-temen muda yang ngejalanin bisnis, mungkin sempet dan masih sama-sama ngerasain dilema yang tumbuh dari persoalan ini. Kita-kita yang punya usaha rintisan, belum punya nama besar, apalagi jika disandingkan dengan perusahaan multi-nasional, ada dinamika tersendiri dalam mendapatkan “pekerja” yang berkualitas. Belum selesai dengan urusan kualitas, remunerasi, dan fasilitas, eh sekarang, dengan booming-nya millenials, kita juga jadi punya tambahan tantangan lain nih, karena katanya siih, millenials itu cenderung tipikal yang “demanding”, lebih banyak tuntutan, dan jadinya lebih gampang ngerasa gak puas. Sedangkan pilihan dirasa mereka banyak, jadi “bosen” dikit aja bisa langsung bikin pengen pindah ke lain tempat. *Sigh*

Tulisan ini sendiri distimulus setelah aku baca buku Generasi Langgas karyanya mas Yoris Sebastian. Sekilas dibahas di bukunya juga, standar millenials sekarang stay di satu kantor memang berkurang loh. Yang asalnya standar 4 tahun bekerja di satu perusahaan, dari perspektif mas Yoris sendiri, sekarang dua tahun pun sering dianggap cukup. Nah.. apakah ini terkait tingkat loyalitas? Atau memang semata-mata karakter manusia yang berubah secara kolektif?? Menurut kalian gimana?

Seketika itu juga aku pun jadi langsung inget satu nama: Handry Satriago. Yep! CEO GE (General Electric) Indonesia ini (one of my most favorite CEOs) sering kali menyampaikan kritiknya tentang posisi job hopper. Dari sejak lama. Makanya aku jadi penasaran nih, kalo liat kondisi zaman sekarang, bang Handry masih keukeuh kayak gitu gak ya? Atau jadi lebih fleksibel? Kira-kira apa ya yang dilakukan beliau untuk maintain para pekerjanya? Akhirnya aku tanyain langsung deh, dan dibales via email seperti berikut ini:

Screen Shot 2017-06-13 at 3.19.38 PM

Gaya nulisnya, bang Handry banget kan? ^^

 

Waaahh… ternyata bang Handry tetep konsisten sampai sekarang! 😀 Berarti, hmmm… yang pasti job hopper gak punya harapan tuh untuk masuk GE, hahaha… Well, perhaps giving values to employees is the key. Dan umumnya memang harus dimulai dan direfleksikan oleh leader-nya dulu dan nilai-nilai yang dibawa. Easy to be said, not easy to be done. Tapi semoga kita bisa nemu cara masing-masing untuk handle ini yaa. Semangat!!

 

Sore hari di Kantor Staf Presiden Lt.4,

sambil nunggu acara bukber bareng Pak Deputi

 

NB: Postingan ini juga dibuat dalam rangka hari ulang tahun Mr.Handry Satriago yang entah ke-berapa. Selamat ulang tahun ya, bang Handry! Sehat selalu. Dan semoga bisa jadi ayah yang rock n roll buat si kembar :3

One Thing At A Time, Data Mining, and Kindle

IMG_5102

Ok, sorry for the photo

 

Guess what? I’m currently in the middle of my reading and choose to take a break just to write this post. I’m reading Data Mining – Practical Machine Learning Tools and Techniques (some people recommended this one, so I give it a try), written by the practitioners of WEKA, one of the powerful softwares to mine data, and I expect this book is really practical just like mentioned in its title. I spent several hours to reach half of this book (around 250 pages) and I think it’s pretty fast, because I was not skimming, but really reading it comprehensively. Why so? How could I do that?

Recently, I’m practicing to apply a method, that may be very common to all of you, but not everyone doing it: “One Thing At A Time” method. Started when a friend of mine telling me something about healthy eating behavior. She said that, if we have to choose between bathing and eating, what should be done first, it’s better for us to do bathing first and eating afterward. Why? Because when doing food digestion, our body needs to focus and not distracted by any other activities. She even said that, bad digestion can produce toxic. So when we eat, it’s not recommended to double the job by reading books, watching movies, checking social medias, stalking your ex-es, or so on. And I think it’s also relevant generally. People nowadays are crazily obsessed by multi-tasking, like we have to accomplish so many things at a time. The question is: is it really work? I personally think that it is a toxic (at least for me). Instead of being a benefit, it usually becomes a threat. When we’re doing jobs and keep moving from one to another, most likely we end up by not finishing them all well. Or worse, none of them is finished. Well, some people might say that they can deal with that, but me, even without distraction, my mind is often branched far off the topic, so it’s best to get rid of all unrelated stuff. And to make it more powerful, I even wrote the sentence in a big sheet of paper and put it on my wall: ONE THING AT A TIME. Whuff~

So, done with the method and back to the book. I finally chose to take a break because after finish half of it, I found that this book is veryyyyyyy…….. useless 😐 (I give the link below this post if you want to download the PDF and read it too). The authors waste my time by babbling about data mining application in different industries until page 90, which not necessary needed. And when they move into technical chapters, I found them not easy to understand, unless data mining is already in you (with that advanced statistics, complicated formula, and well programming skills), and you just read this book as a supplement. So, I think I will shift to another book: Mining of Massive Datasets, and decide whether this one is better or judge that these books are typical.

511pKebJTTL._SX258_BO1,204,203,200_

Lets see…

 

Talking about books, usually in weekdays I spend 1-2 hours for reading. But in the weekend like this, I can spend so many hours only for consuming words and extracting information from books, and now I’m starting to worry. Not because of the reading, but the medium. You know, of course I do love physical books. But since my reading is dominated by English books (which are not cheap to collect them all physically, and not all of them are provided in near places either), my books now are mostly in digital form, and I read them all through gadgets. We can imagine, even without reading books on a laptop, I spend my time staring at the screen for so long, for improving skills, coding, doing tasks, emailing, and other activities. And when I want to relax and doing what I love, which is reading, I still have to torture my eyes with shiny lights from LCD? Oh My….

So now I’m seriously considering about using Kindle. But because it is not officially sold in Indonesia, perhaps I have to find a way how to get it. Well, surely those local marketplaces are selling it, but, are there some issues to be concerned about? Or is it just okay to buy from the local seller with a higher price? Will there be any trouble with US credit card payment? Oh, please, for any of you who have experience, do share with me, I will be very appreciate it. Meanwhile, I’ll be using this laptop or smartphone and aching in tears when it takes too long. Huhuhu…

61shyF063PL._SL1000_

Craving for thisss!

 

 

In the mid-day, when all my eyes want to see are green leafs and prairie,

hope that I will never have to use reading glasses in my whole life

 

 

Download PDF:

Data Mining: Practical Machine Learning Tools and Techniques – Ian H. Witten & Eibe Frank

Mining of Massive Datasets – Anand Rajaraman & Jeffrey David Ullman

#BookReview Your Name Is Olga – A Compassionate Book About a Down’s Syndrome Girl

5102KY8eDhL._SX314_BO1,204,203,200_

Rate: 7/10

Judul aslinya “El Teu Nom és Olga” terbitan Spanyol. Aku dapet versi bahasa Inggrisnya di toko buku loak langganan waktu di Bandung. Isinya adalah kumpulan surat seorang ayah untuk anak perempuannya yang terlahir Down Sydnrome, yang diberi nama Olga.

Awal terbit, tahun 1989, setelah putrinya itu pun berusia 28 tahun, adalah masa dimana hal-hal seperti ini masih belum diterima dengan baik oleh para orang tua, informasi masih sangat terbatas, sehingga buku ini bisa jadi sangat menyentuh untuk banyak orang.

Alih-alih malu dan mengucilkan anaknya sendiri, beruntungnya Olga, dia punya kedua orang tua yang suportif, terus berusaha agar anaknya bisa tetap tumbuh cerdas dan bahagia, sambil belajar banyak tentang kehidupan melalui hari-hari yang mereka lewati, yang akhirnya dicurahkan dalam setiap surat yang ditulis sang ayah.

Penyebab Down Syndrome sendiri adalah karena kelebihan kromosom sehingga terjadi kelainan. Tidak melulu keturunan, tapi bisa juga karena berbagai faktor lain. “Menarik bukan, Olga? Karena kelebihan adalah yang justru menjadi sumber kekuranganmu”. Probabilitas terjadinya kelainan ini di dunia adalah sekitar 1:1000. Dan yang menarik di kisah ini adalah, orang tuanya tidak lantas mengetes diri mereka berdua karena tidak ingin bertendesi mencari tahu siapa salah satu yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi, dan lalu memiiki rasa menyalahkan atas keadaan. Mereka justru lebih memilih untuk menerima dan berjanji untuk bekerjasama membesarkan putrinya itu.

Saat membaca, aku jadi terbayang bagaimana rasanya para calon orang tua yang sedang menunggu kelahiran anak mereka. Pantas saja jika ada masa dimana sudah tidak terlalu peduli lagi apa jenis kelamin sang jabang bayi, laki-laki atau perempuan, karena yang jauh lebih penting adalah bisa terlahir “sempurna” dan sehat seperti selayaknya.

 

Salam hangat dari Jakarta,

karena di tengah kesibukan pun harus tetap terus membaca

 

NB: Walaupun bukunya bisa dibilang cukup “tipis”, tapi aku post ini karena udah janji sama diri sendiri untuk sebisa mungkin review dan nulis soal buku-buku yang udah dibaca, biar gak lantas lupa tapi sedikit-sedikit bisa tetep inget. Cobain deh! 🙂

See my other book reviews and friend me on: https://www.goodreads.com/haniwww

My Review of “The Clash of Civilizations” by Samuel Huntington

 

Well, sometimes we read a book simply because every body does. Just like me with this one. I read it because this article said that it’s one of books in the reading list of students in top campuses like Harvard, Columbia, Princeton, etc. So I gave Huntington a try.

This book tells about fundamental civilizations globally. Interestingly, by just reading this book, we can be more acknowledged with role of each nation in this world and how they affect each other (which make me also want to learn again about maps and upgrade my geographical skill!! Ha ha >,<).

By following the stories, we can observe that the fundamental source of conflict in this new world will not be primarily ideological or primarily economic. The great divisions among humankind and the dominating source of conflict will be cultural (region, ethnic group, religious groups, all have distinct cultures at different levels of cultural heterogeneity). Or as R.R.Palmer said, “The wars of kings were over, the wars of people had begun”. The next world war, if there is one, will be a war between civilizations.

“The West and The Rest”. This polarization are also emerging yet I don’t really support this. Our people should not be manipulated and utilized by certain purpose of irresponsible party. Remember what happen with Iraq. “The struggle against American aggression, greed, plans, and policies will be counted as jihad and anybody who is killed on that path is a martyr”. “This is a war”, King Hussein of Jordan argued, “against all Arabs and all Muslims and not against Iraq alone”. The question is.. “is that really true??”. Or… Just like Western leaders who claim they are acting on behalf of “the world community”, the very phrase that become a euphemism to give legitimacy to the actions of them.. Do you really think that is right?? Or with what happened in Indonesia.. when Ahok is suspected to do… well, never mind -.- (I don’t wanna talk about it).

We should think more clearly in seeing diversities around us and be a part of civilization that embrace all the differences with an objective and a good way. That’s the least what I learned from this piece of Huntington. Go read by yourself.

In the middle of (very) bad times,

and I’m reading book about conflicts, instead

 

(For other reviews: https://www.goodreads.com/haniwww)

Also read: Review of “Lean In” by Sheryl Sandberg

Otot Baca dan #KelasMenengahNgehe

resize-buat-blog

Dapet langsung dari dan ditandatangan mas Siwo pas beliau ke Bandung.

 

Ceritanya aku baru beres baca buku Consumer 3000, yang sebenernya udah mulai dibaca dari November 2012. Mennn, 4 tahun yang lalu!! Buset >,< Orang bilang buku bisnis & marketing itu cepet banget outdate-nya, karena saking dinamisnya bidang ini. But for the sake of finish what I started, aku tetep pengen nyelesein ni buku. Ya kali kali masih ada insight yang relevan dan bermanfaat. Perasaan sih (yaelah, perasaan :p) beberapa tahun yang lalu tu aku udah baca sampe halaman 100-an lah, tapi entah kenapa berhenti tengah jalan. Dan tiba-tiba semalem, pas aku baca ulang, bener-bener dari awal lagi, I can finish this in only one sitting! Alias bisa baca sekali dan langsung selesai! (257 halaman). Eitss, bukan skimming dan fast reading juga ya. Aku tetep berusaha bacanya secara komprehensif. I read word by word, dan bener-bener berusaha paham. Caranya gimana? Adalah dengan ngebayangin kita harus ngajarin orang lain lagi tentang apa yang kita pelajari. Sehingga mau gak mau kita jadi berusaha untuk kitanya sendiri harus bener-bener ngerti dulu. Apalagi aku emang pengennya, tiap abis baca buku, sebisa mungkin nulis resume atau ulasannya. Biar kita gak cuma mengkonsumsi, tapi juga berpikir dan memproduksi sesuatu.

So, balik lagi ke judul, kenapa sekarang aku bisa one sitting reading, hmm.. aku pikir ini cukup membuktikan tentang yang disampaikan oleh para neuro-scientist tentang apa yang disebut “otot membaca”. Jadii.. menurut penelitian mereka, singkatnya, membaca itu memang bukan termasuk kemampuan alamiah manusia. Beda dengan melihat, bernafas, ngomong, itu semua terjadi lebih natural. Sedangkan membaca, itu kayak kita lagi cardio, yang kalo otot-ototnya mau jadi, ya berarti kita butuh banyak exercise. Dan karena reading habit aku sudah jauh lebih teratur (I read every single day min.1 hour), rasanya kayak hari ke hari ototnya jadi lebih kuat aja kalo mau sprint, baca buku tebel, essay panjang, jadi gak gampang capek dan cepet berhenti tengah jalan. And I think it is very useful, since reading is one of important skills that make me survive in life until now. So, I really recommend you to do also your routine exercise, no matter the duration. Just keep exercising. There are uncountable sources of knowledge out there waiting for us to learn, dan baca buku itu bagaimana pun beda dengan baca artikel, berita online, apalagi sekadar status teman di media sosial. Literasiiii… penting! #keukeuh X’D

Lalu.. Kelas menengah ngehe! Haha…

Sebenernya buku Customer 3000 ini fokus ke pembahasan tentang fenomena kelas menengah di Indonesia yang lagi tumbuh aja. Yang menariknya masyarakat (terutama netizen) nyatanya udah cukup punya pandangan sendiri juga tentang karakter dari si salah satu kelas ekonomi ini. Dan banyak dari mereka yang mencuitkan pendapatnya dengan hashtag #KelasMenengahNgehe.

Berikut adalah beberapa twit” “lucu” terkait #KelasMenengahNgehe:

This slideshow requires JavaScript.

 

Sedikit banyak cuitan-cuitan di atas cukup menggambarkan tentang kondisi kelas menengah di Indonesia, yang memang mayoritas tinggal di perkotaan. Mereka adalah yang secara pendapatan tidak merasa lagi dirinya orang susah, kebutuhan primer sudah terpenuhi, sehingga gaya konsumsinya agak naik level, walaupun sebenarnya tetap berhitung untuk mendapatkan keuntungan paling tinggi dengan pengeluaran paling sedikit. High-value oriented, kalo di buku #C3000 dibilang. Dan kenapa mereka sangat menarik sampe harus dibahas khusus? Adalah karena jumlahnya yang kini dominan, market potensial yang sedang tumbuh subur (kalo mau bikin bisnis baru, menarget kelas ini, pasarnya bagus!), tapi dengan karakteristik yang khas, dan perannya juga besar untuk membawa bangsa menjadi suatu kekuatan ekonomi di dunia. Pendapatan $3000/tahun per kapita adalah ambang batas suatu negara memasuki fase baru dalam perkembangannya, sehingga buku ini diberi judul Consumer 3000. Dan mas Siwo (panggilan Pak Yuswohadi, sang penulis) dengan lembaga risetnya ternyata sudah mempelajari fenomena ini dari tahun 2010 lalu. Cukup menarik pembahasannya dengan contoh-contoh konkret yang memang beliau temui dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun masih bisa diperbaharui secara ilmiah di sana-sini. Setidaknya berikut adalah poin-poin yang bisa didapat:

  1. Dengan GDP >$3000 sebenarnya dari beberapa tahun lalu Indonesia sudah tidak bisa lagi dikatakan masih negara berkembang.
  2. Kalo ngikutin ADB (Asia Development Bank) tahun 2005 sih, kelas menengah adalah yang pengeluaran per kapita-nya $2-20/hari.
  3. Tapii.. “It’s easier to rise from a low-income to a middle-income economy than it’s to jump from middle income to a high-income economy”. Dan faktor penting penyebabnya adalah: SDM & RnD
  4. Semoga Indonesia gak kena Middle Class Trap kayak Malaysia, yang mentok sebagai negara berpendapatan menengah. Beda dengan Korea Selatan yang akhirnya berhasil bertransformasi menjadi negara maju baru.
  5. Kelas menengah akan jadi tulang punggung ekonomi Indonesia karena kekuatan konsumsinya. Proyeksi di tahun 2020 kita bisa jadi urutan tertinggi ke-8 di dunia, dan di tahun 2030 posisi ke-4 stlh Jepang, Jerman, dan Rusia.
  6. Kemajuan Indonesia bisa menjadi kekuatan ekonomi besar dunia (yang diproyeksikan masuk 7 besar di tahun 2050) tidak lepas dari kebangkitan kelas menengah kita.
  7. Kunci kesuksesan Inggris memimpin dunia abad 18/19 pun adalah karena mereka, “The Great England Middle Class”.
  8. Bedanya kelas menengah Indonesia & Cina: di Cina, golongan middle of middle class-nya yang dominan, dan banyaknya orang desa, sedangkan Indonesia masih didominasi kelas menengah bawahnya, dan rata2 orang kota.
  9. Kelas menengah Cina ternyata menarik. Mereka jadi makin rakus dengan merk-merk terkenal, bahkan mulai menggeser Jepang sebagai pasar terbesar barang mewah di dunia, banyak disebut sebagai “Chinese Dream”.
  10. Cinta produk lokal jadi makin penting. Karena kalo konsumsi domestik terserap oleh industri & barang-barang impor, yang maju berkembang ya bukan kita, tapi mereka.
  11. Karakter kelas menengah masih sama, fokusnya bukan semata-mata harga (seperti kelas bawah) atau justru brand (kayak kelas atas), tapi lebih banyak di value.
  12. Kenapa kelas menengah penting: 1.Ada kelas wirausaha baru, 2.Karakter konsumennya, 3.Mengurangi kesenjangan, 4.Demand barang naik, 5.Punya kekuatan politik.
  13. Kelas menengah naik, OKB (Orang Kaya Baru) makin banyak. Bukan orang kaya beneran, tapi yang bergaya kaya. Mereka yang konsumsi barang-barang/jasa bukan lagi karena kebutuhan, tapi kadang cuma pengen.
  14. Karena ngerasanya “gak hidup susah lagi”, shopping exuberance merajalela, apa yang dibeli bermnfaat atau nggak bukan jadi isu utama mereka.
  15. Dengan makin umumnya kartu kredit, KPR dll, budaya konsumtif dan budaya ngutang makin tumbuh dan berbahaya, bisa bawa Indonesia ke krisis kayak di AS.
  16. Golongan yang lebih cerdas, akan merubah banking behavior-nya. Saat dana berlebih, tidak sekadar menabung, mereka akan mencoba berinvestasi lewat berbagai pilihan produk, seperti saham, reksadana, properti, emas, dll.
  17. Beberapa industri yang tumbuh subur = perbankan, kecantikan, kesehatan, MAL (dimana Jakarta juga adalah kota dengan mal terbanyak di dunia).
  18. Mereka sangat erat dengan narcism dan kebutuhan akan Social Experience.
  19. Peran sentral kelas menengah: 1.Sebagai konsumen, 2.Sebagai pelaku ekonomi, khususnya entrepreneur pencetak lapangan kerja, 3.Pelaku politik, mendorong demokrasi.
  20. Catatan untuk pemasar yang membidik pasar ini: make horizontal mobile marketing. Bukan cuma broadcast tapi raise engagement. Get permission, don’t interrupt.

Nah.. begitulah kira-kira tentang kelas menengah kita. Untuk yang tinggal di kota, pasti sangat menyadari eksistensi mereka di tengah-tengah kita. Yang jelas, buat aku pribadi sih, setelah baca buku ini dan buku-buku sejenis yang lain, manfaatnya adalah bisa maksa diri untuk lebih berkaca aja, bikin mawas diri biar lebih cerdas dalam mengelola mindset dan prioritas keuangan. Supaya gak jadi korban zaman, apalagi jadi beneran “ngehe”, sampe merelakan hidup susah demi gaya hidup (keliatan) mewah. Karena sesungguhnya yang penting bukanlah penampilan, tapi laporan keuangan sungguhan dan isi buku tabungan, ya nggak?? Dan cerdas berinvestasi! Duuh.. PR banget nih. Semangat!!!

 

Siang hari, sambil agak kelaparan di kantor,

tapi semoga makin pinter bedain keinginan dengan kebutuhan