Kenapa Gw ZBL sama Balikpapan

Idul Fitri 2023 ini gw mudik ke rumah keluarga suami di Balikpapan. Tentunya gw bertemu ibu bapak mertua gw di rumah mereka, di daerah padat penduduk di perbukitan, tapi juga dekat ke pantai, hanya 5 menit naik sepeda motor. Di rumah itu, ada 1 mobil dan 3 motor, kesemuanya diparkir di luar rumah. Sebagai catatan, rumahnya pun tidak berpagar, jadi halaman rumah yang dimaksud termasuk juga jalan umum. Singkat cerita, saat malam tiba, gw perhatiin kok kendaraan-kendaraan itu dibiarin aja, gak digembok, gak dimasukin area rumah, atau apapun. Saat gw tanya ke bapak mertua, beliau bilang “ya biarin aja, orang aman kok. Lihat aja tuh motor-motor di bawah (nunjuk motor tetangga) juga ditaro gitu aja di pinggir jalan, gak apa-apa”.

Hal ini spontan mengingatkan gw ke statistik yang gw lihat beberapa hari sebelumnya, tentang “Seberapa percaya elo sama tetangga dan orang-orang di lingkungan lo?”

Norwegia ada di urutan pertama, dan itu gak aneh sama sekali. Saat gw ke Norway, gw sendiri syok ngeliat kulturnya yang sangat percaya sama orang lain. Rumah-rumah mereka juga gak berpagar. Jangankan rumah, saat gw ke tempat penginapan aja, itu tempatnya gak dikunci sama sekali, gak ada resepsionis atau penerima tamu, gw bisa langsung masuk, lalu ke kamar, dan bebas ngapain aja sesuka gw. Di tempat umum, masuk ke transportasi publik pun banyak yang gak ditutup. Misal: kereta yang bayarnya pake kartu. Biasanya, akan ada gerbang dimana kita harus tempelin kartu kita, baru bisa masuk. Tapi di Norway nggak. Gak nempelin pun tetep bisa masuk. Aneh kan? Saking percayanya mereka bahwa semua orang hidup dengan kesadaran akan norma-norma, bahwa orang-orang pasti tetep akan nempelin kartunya dengan bertanggungjawab. Ekstrimnya, saat gw harus berurusan sama polisi di Norway, walau gw melakukan kesalahan, tapi polisinya sendiri bilang bahwa mereka yakin gw gak berniat melakukan kesalahan itu dengan sengaja. Wow, I’m impressed.

Tapi itu Norway. Dan di statistik di atas, Indonesia juga termasuk yang nilai kepercayaannya atas tetangga itu lumayan lah, 61%. Gw langsung mikir, “wah, ini pasti surveynya gak di kota besar”. Di Jakarta, mana ada orang berani gak ngunci rumah? Mana percaya kita ngebiarin motor atau mobil ditaro gitu aja di jalan malem-malem? No way, man. Mungkin surveynya termasuk ke orang-orang di Balikpapan? Dan itu sangat mengusik prinsip gw atas apa itu tempat tinggal yang layak.

Sebagai referensi, saat gw menulis ini, gw sudah mengunjungi kota-kota di 17 negara di 4 benua. Kesimpulan dari pengalaman itu adalah bahwa memang tidak ada kota yang sempurna, semua pasti ada plus minusnya. Tapi, kita tetap bisa menentukan parameter apa yang kita pake untuk menentukan suatu kota itu layak tinggal atau nggak. Semakin berumur, parameter gw semakin mendasar, utamanya ada 3, yaitu:

  1. Udara bersih

Ini hal wajib yang harus ada untuk suatu kota gw akui layak tinggal. Sebagai manusia, apa sih hal mendasar untuk kita? Bernafas. Dan kita butuh udara untuk bisa melakukan itu. Di Jakarta, sangat gw sadari bahwa ternyata hal mendasar kayak gini aja sulit. Udara kotor bikin gw males bernafas, tapi karena tetap harus bernafas, gw terpaksa menghirup udara yang tidak layak. So, udara bersih itu hakiki.

2. Air bersih

Air bersih yang gw maksud artinya bukan cuma kita sendiri yang punya akses ke air bersih, tapi air di sekitar kita juga bersih. Semua orang di lingkungan kita bersih. Kenapa? Karena hidup kita saling berkaitan. Percuma gw punya air bersih, tapi lingkungan banjir, sungai kotor, sedangkan gw masih sering beli pecel lele di warung pinggir jalan. So, sanitasinya bagus, itu baru layak. Kalo levelnya negara maju, udah bisa minum langsung dari air keran.

3. Rasa aman

Awalnya gw cuma punya syarat 2 di atas; air dan udara. Tapi saat gw pergi ke kota Medan pertama kali, dimana semua orang mewanti-wanti gw untuk selalu waspada, jangan keluarin hp di jalan, takut preman dan jambret dimana-mana, dll, sampe ada istilah “ini Medan, bung!”, gw jadi merasa sangat gak nyaman, kemana-mana ketakutan, dan itu gak enak banget. Ternyata, ngerasa aman itu mahal harganya, rasa takut dan khawatir itu ada biayanya. Tiga diantaranya adalah: energi pikiran (efek psikologis), waktu dan uang (jadi terpaksa naik gocar dibanding jalan kaki, misalnya), dan kesehatan tubuh (rasa panik dan takut pasti mempengaruhi fisik juga). Sejak saat itu, gw jadi menambahkan poin ‘rasa aman’ ke syarat suatu kota disebut layak tinggal.

Mungkin gw kelamaan tinggal di kota besar, jadi menganggap naro kendaraan di luar rumah adalah hal aneh. Dan saat gw ke Balikpapan (setidaknya di daerah tempat mertua gw), ternyata gw bisa menemukan 3 syarat tempat layak tinggal yang gw cari. Udara di sana masih (relatif) bersih, lingkungannya lumayan bersih, karena orang-orangnya lebih “civilized” (menurut riset), dan ternyata jadinya keamanan juga meningkat (walau tentu persentase tindak kriminal bukan 0%). Gw jadi zbl ke Balikpapan karena orang-orang di sana bisa merasakan itu, hidup dengan nyaman, gak kayak gw di Jakarta, yang gak punya kesemuanya. Semoga ini berlangsung dan berlanjut seterusnya.

Sambil capek-capek baru kembali ke ibukota,

Hani Rosidaini

PS: Kalo ada yang nanya, “yaudah Han, kenapa gak pindah ke Balikpapan aja? Sebenernya selain 3 syarat di atas, karena gw extrovert dan ADHD, memang ada kecenderungan bawaan gw hanya suka kota besar. Lebih tepatnya kota yang lebih metropolitan. Agak sulit memang. Begitulah.