Pengalaman Wadidaw Direkrut Lembaga Internasional

Rapat kerja tim OO; Indonesia – Inggris – Afrika Selatan

Hai semua,

Udah lama gak nulis di blog. Banyak yang pengen di-share, niatnya diposting berupa video aja, biar nambah-nambah konten di Youtube, eh tapi ternyata banyak hal yang tetep lebih enak dibagi lewat tulisan aja. Termasuk tentang topik ini.

2020 adalah tahun yang sangat berkesan untuk semua orang, positif dan negatif, termasuk gw. No long trip, extreme weight-gain, dan… direkrut oleh salah satu lembaga internasional, yaitu Open Ownership. Lembaga ini adalah lembaga yang berfokus pada keterbukaan data informasi penerima manfaat akhir (beneficial owner), yang salah satu tugasnya adalah membantu pemerintah di 90 negara yang sudah berkomitmen terhadap bentuk transparansi tersebut, membuka tabir siapa pemilik kontrol dan penerima keuntungan sebenarnya di perusahaan-perusahaan, demi memberantas korupsi, pencucian uang, pembiayan terorisme, penghindaran pajak, dan aksi-aksi kriminal lain lewat penyembunyian identitas atau penyamaran status pemilik. Uwawwww sekali bukan? Uwaw karena terdengar keren atau uwaww karena kok kayaknya beda banget sama bidang gw selama ini? >,<

Untuk yang kenal dan tahu, sejak 2017 memang hidup gw bisa dibilang “pivot”. Dari yang awalnya bisnis, bisnis, bisnis, biz tech, biz tech, biz tech, selalu private sector, tiba-tiba di tahun itu jadi masuk ke public sector. Disengaja gak disengaja, tapi takdir membawa gw begitu, kecemplung dan keterusan. Banyak hal yang gw syukuri, termasuk karena gw merasa menemukan bidang yang agak “blue ocean”, yaitu civic tech. Blue ocean dalam konteks orang-orang teknologi yang mengimplementasikan keilmuannya di bidang yang sangat teknikal ke sektor yang bukan akademis ataupun bisnis. Gw jadi pengen termasuk ke dalam orang-orang yang mentransformasi sektor publik secara digital (civic technologist). Dimulai dari gabung tim Satu Data Indonesia di Kantor Staf Presiden (2017), membuat gw jadi diterima sebagai satu-satunya orang Indonesia yang gabung School of Data (2018), sebuah program fellowship di bawah lembaga Open Knowledge (London), membantu implementasi Open Contracting (keterbukaan kontrak pengadaan publik) di Indonesia, berlanjut ke lembaga rekanannya sekarang, yaitu Open Ownership (Inggris). Buat gw sih benang merahnya tetap satu, yaitu pemanfaatan data untuk transformasi digital demi pelayanan publik yang lebih baik. Walaupun ternyata eh ternyata, ya ampun saudara saudara, secara praktek, jadi luaaaasss banget. Di titik ini, gw jadi ngerasa butuh banyak learning curve baru lagi. Gw jadi harus belajar soal policy mapping, stakeholder mapping, implikasi hukum, analisa kebijakan, penulisan global report, dimana di saat yang sama gw tetep masih pengen memperdalam kemampuan teknis gw dalam bidang ilmu data dan sistem komputer (kayak gak rela aja gitu untuk ngelepas predikat sebagai anak teknik). Jadi maksain diri untuk tetep bisa upgrade kemampuan di dua-duanya. Walaupun hasilnya yaa jadi gitu lah, pros and cons. Sebenernya sih, di Open Ownership pun butuh orang yang teknikal banget, karena OO bikin standar data sendiri, tapi ya tetep aja, tim teknis pun harus punya pengetahuan yang cukup tentang kebijakan publik untuk bikin solusi yang kontekstual.

Eh, balik lagi ke judul (haha, intronya kepanjangan), cerita kali ini adalah tentang pengalaman gw di awal diterima di Open Ownership. Secara praktek, kontrak kerja pertama gw dengan lembaga internasional adalah kontrak dengan Open Knowledge (2018), tapi waktu itu kontraknya biasa aja, gak ada yang aneh. Dana untuk membiayai gw waktu itu dari HIVOS, sebuah NGO internasional. Jadi, uang yang gw dapet itu adalah hasil donor HIVOS, yang kalo gak salah sumbernya dari EU (?), pemerintah Eropa. Nah, di tahun 2020, dengan lembaga Open Ownership ini, walaupun dia basisnya di Inggris, kebetulan untuk kontrak kerja gw, dananya disponsori secara fiskal oleh Global Impact, entiti non-profit Amerika. Hasilnya, kalau mau kontrak kerja, itu gw bahkan gak sama Open Ownership-nya, tapi langsung dengan si Global Impact. Dan di sinilah proses wadidawnya. Kenapa? Saat setelah dinyatakan bahwa gw terpilih oleh OO, sebelum akhirnya membuat kontrak kerja, ada masa dimana gw harus melewati proses due-diligence dari entiti Amerika tersebut (yang terafiliasi dengan lembaga-lembaga Amerika lain terutama terkait kontrol aset dan perbendaharaan). Alih-alih dikasih surat kontrak untuk ditanda-tangan, gw justru dikasih dulu surat pernyataan untuk mempersilakan mereka menginvestigasi semua hal tentang gw (fact-check). Lalu, apa yang aneh? Bukannya semua perusahaan pun akan menyelidiki calon kandidat pekerjanya? Yaa minimal lewat media sosial mungkin, postingan-postingan di twitter/instagram, atau minimal googling namanya dulu. Semua orang bisa melakukan itu kan? Nah, bedanya, ini formal banget, dan jadinya berkesan buat gw karena bahkan suratnya ada beberapa lembar, dan di dalamnya termasuk poin-poin yang sangat pribadi. Sedikit gambaran, di situ tertulis investigasinya bisa sampai ke data keuangan, histori transaksi, reputasi kredit gw di perbankan, data kepemilikan kendaraan, reputasi di media sudah tentu, mode hidup, verifikasi data diri, keluarga, status hukum, bahkan bisa sampai tanya jawab dengan teman atau tetangga tempat gw tinggal. Edaann.. Gw berasa mau dikulitin dan “ditelanjangin” semua data gw. Full background check, sehingga mereka minta gw untuk memberikan Privacy Consent. Kalau gak lolos due dilligence, ya kontrak kerjanya bisa aja batal. Heww~

Overview of Open Ownership

Tapi ya apa lah gw. Mereka cuma mau rekrut satu orang dari Indonesia, dilalah gw terpilih jadi satu-satunya orang itu, ya gw tanda tangan aja Privacy Consent-nya. Dan kalau mau fair, ya mungkin memang harus begitu. Masa gw gabung OO, mau nuntut transparansi dan akuntabilitas orang bahkan pemerintah, tapi gw sendiri gak bisa diaudit dan gak akuntabel. Jadi yaa pasrah aja lah.. Maka gw kirim lah KTP passport gw untuk pelengkap due dilligence, dan gw nunggu sampe proses pengecekannya selesai. Ehh ternyata lama dongg. Sampe seminggu kemudian masih belum selesai-selesai juga. Gw pikir “buset, ini orang-orang pada ngepoin gw apa aja ya sampe lama begitu ~,~” Gw udah sampe mikir “wah, kayaknya gak lolos investigasi nih gw”. Jangan-jangan jadi lama karena mereka jadi mesti interview kandidat lain lagi untuk menggantikan gw. Ya ampun rasanya digantungin banget. Sampe akhirnya ternyata proses gw clear, UWOOOO YOU RAISE ME UUUUUPPPP!!!! (*sambil nyanyi), lega bett gw. Kayak abis diinvestigasi beneran, pokoknya gw leganya bukan main.

Udah sih, wadidaw di situ doang, hahhahaha…

Di luar itu, mungkin beberapa poin yang bisa gw share selama prosesnya adalah:

  1. Manfaatkan media sosial dengan baik. Buat yang suka Linkedin, silakan branding di Linkedin. Suka twitter, optimalkan twitter-nya. Kalau akunnya di-private, menurut gw sayang banget, karena malah nutup segala kemungkinan baik yang bisa terjadi. Kebetulan gw suka twitter-an, dan gw manfaatkan twitter gw untuk menjangkau orang-orang yang potensial. Bahkan jauh sebelum masuk Open Ownership, gw udah nyoba buka komunikasi lewat twitter dengan Executive Director-nya, sampe kami saling follow. Alhasil, gw jadi terekspos juga dengan kolega-koleganya yang lain, sampe akhirnya, bahkan sebelum gw mau gabung, gw udah di-approach duluan sama salah satu Country Manager-nya untuk apply. The power of socmed.
Executive Director Open Ownership

DM twitter, di-approach untuk daftar gabung mereka

2. Shifting dari technical background ke public policy itu challenging. Sedikit tergambar di tabel di bawah ini:

Untuk ngatasinnya, gw berterima kasih teramat sangat untuk semua MOOC (Massive Open Online Course) di internet sehingga gw bisa banyak belajar secara mandiri. Online course yang gw ambil di awal-awal, dan gw rasa bermanfaat untuk orang-orang yang mau shifting juga ke public sector, beberapa diantaranya adalah:

Intinya sih jangan pernah berhenti belajar, hehe..

3. Reading is an important life skill! Salah satu hobi yang gw rasa sangat menolong gw adalah hobi gw membaca. Banyak orang zaman sekarang yang gak suka baca, dan beralasan “kan udah ada video atau podcast, ngapain baca? yang penting kan nerima informasi”. Padahal tetep beda banget. Salah satunya karena kalau gak suka baca, lw gak bakal suka nulis. Lw akan lebih ngalir untuk nulis kalau lw terbiasa banyak membaca. Buat gw yang suka baca aja, berkata-kata masih challenging, karena selama ini kerjaannya lebih banyak berkutat dengan angka. Dan tiba-tiba di kerjaan sekarang, gw mesti nulis report puluhan lembar, berbahasa Inggris, yang merupakan hasil assesment kualitatif dan kuantitatif di bidang yang sebenernya masih baru juga. Rasanya…….

4. Demi menciptakan dan memperbanyak talenta di bidang civic tech, gw coba dirikan organisasi bernama Civic Tech Indonesia, yang rencananya akan baru serius aktif di 2021. Jika ingin bergabung silakan berlangganan di newsletter-nya.

5. Setelah sekian lama kerja sendiri di rumah, gw merasa sangat butuh counterpart dan setidaknya teman diskusi, terutama yang sudah lebih ahli di bidang sektor publik ini. Gw pengen nyoba kerja di coworking space, tapi kebanyakan coworking space diisi oleh anak-anak startup dan bisnis. Gw butuh coworking space tempat orang-orang public sector ngumpul. Ada ide?

Yak, sekian dulu blog kali ini. Maaf kalau kepanjangan. Akhir kata, doakan saya ya bisa menjalankan amanat pekerjaan dengan sebaik-baiknya (kalau nggak, malu-maluin negara nih -.-). Saya juga doakan kalian yang sudah baca sampai akhir, semoga rizki kalian dilancarkan. Okeh? Amiin.

Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum warohmatullohi wa barakotuh v^_^

Dari yang beratnya nambah 15 kg selama pandemi,

Hani Rosidaini

10 Fakta Tentang Teknologi ‘Speech Processing’ Yang Orang Harus Tahu

Hai, apa kabar semuanya?

Pak Oskar "Bahasa Kita"

Bersama Direktur Bahasa Kita

Hari ini gw langsung pengen nulis apa yang baru kejadian beberapa jam yang lalu, hasil dari datang ke acara “sharing” yang kebetulan diisi oleh Bapak Ir. Oskar Riandi, M.Sc., yaitu direktur PT. Bahasa Kita. Gw sendiri sebelumnya udah beberapa kali denger tentang Bahasa Kita, dari temen yang kebetulan ikut ngerjain penelitian di situ, juga dari acara ID Big Data, dimana kebetulan mereka termasuk yang buka booth, tapi gw sendiri awalnya belum terlalu ngeh ini lembaga apa, full tempat riset kah, atau justru murni perusahaan. Dan akhirnya hari ini gw berkesempatan menyimak langsung dari bosnya, pembahasan tentang apa aja sih yang dikerjain Bahasa Kita, kenapa mereka sangat fokus di bidang itu, dan gimana potensi industrinya ke depan.

photo6075397597616515212

Pak Oskar dengan semangat menjelaskan bahwa suara = harta karun yang sangat berharga

Awalnya gw pikir, hmm.. dari namanya sih, “Bahasa Kita”, kayaknya mereka fokus ke bidang linguistik gitu kali ya. Temen gw sendiri penelitiannya adalah tentang NLP (Neuro Linguistic Programming – salah satu keilmuan terkait Deep Learning), ngerjain normalisasi kata-kata alay, tapi ternyata eh ternyataaa, yang mereka kerjain tu jauuh lebih banyak! Baik riset maupun produk untuk bisnis. Walaupun kalau gw lihat core-nya adalah tetep ke “bahasa”, tapi implementasinya luas sekali, bisa ke IoT smart home, drafting hasil meeting (dari omongan-omongan bisa langsung otomatis jadi notulensi), robotik, personal assistant, sistem perbankan, rumah sakit, dll. Bidang eksak banget, yang Pak Oskar sendiri mengakui, kalau mau “nyemplung” di bidang ini, matematikanya mesti kuat banget.

Screen Shot 2018-12-07 at 23.58.04

Notula, salah satu produk yang dikembangkan oleh Bahasa Kita

 

Sedikit tentang Pak Oskar, beliau ternyata adalah lulusan Jepang, dari S1 teknik elektro di Universitas Waseda (hasil mengikuti program Habibie kala itu), lalu S2 juga di Jepang, sudah punya paten di bidang pemrosesan bahasa, puluhan tahun di BPPT, sampai akhirnya memutuskan resign dari status PNS dan memilih untuk mengembangkan Bahasa Kita ini. Wah, pengalamannya di bidang riset jelas banyak banget! Sedikit menyinggung tentang keputusannya resign dari status PNS, beliau menjelaskan bahwa itu adalah pilihan hidup yang memang dipilih dengan tujuan agar risetnya lebih berkembang. Karena memang ada suatu masa dimana Indonesia belum berinvestasi cukup pada riset-riset yang dilakukan di dalam negeri.

Yang menarik dari latar belakangnya menurut gw adalah, begitu gw tahu beliau lulusan Jepang, buat gw semuanya jadi lebih makes sense 😀 Makes sense dalam artian kenapa beliau begitu keukeuh mengerjakan riset dan fokus pada pengembangan teknologi sendiri, tidak mau bergantung pada teknologi asing, memprioritaskan aset bangsa, konsep-konsep terkait kemandirian teknologi, dkk. Karena gw pun punya beberapa kawan lulusan Jepang dan memang mindset mereka sekeren itu: “If you need something, make your own!”, jiwa kreator yang mandiri. Sangat genuine dan berbeda jika dibandingkan dengan pola pikir kebanyakan orang kita zaman sekarang, yang lebih ke: “when you need something, if you have money, just buy laa..”. He he he..

So, balik ke bahasan presentasi, dari awalnya share tentang produk-produk dan prestasi Bahasa Kita, akhirnya Pak Oskar cerita tentang speech processing, yang ternyata menariiiikk banget. Dan berikut adalah poin-poin alasan kenapa kita sebaiknya mengenal teknologi si speech processing ini:

  1. Data di Amerika menunjukkan, disrupsi teknologi di masyarakat, yang bahkan jauh lebih cepat prosesnya dengan tingkat penetrasi smartphone adalah: Speech Processing. Dan ke depan, tren-nya akan terus semakin meningkat.
  2. Teknologi speech processing untuk bahasa-bahasa di Indonesia jelas jauh lebih kompleks karena kekayaan khasanah bahasa kita, termasuk fonem, logat/dialek, bahasa alay, bahasa tidak baku, dll. Maka sebisa mungkin data, aset, dan teknologinya kita yang memiliki dan kita juga yang mengembangkan.
  3. Agar teknologi speech processing ini berkembang, memang diperlukan lingkungan yang harus diciptakan. Dalam arti, teknologi ini tidak bisa berdiri sendiri. Misal, di Amerika, mereka sudah memakai personal assistant untuk membeli sesuatu di e-commerce atau berinteraksi lewat suara dengan alat-alat rumah tangga, dan industri-industri lain yang bisa ikut terkait. Sedangkan di Indonesia, kebanyakan personal assistant masih digunakan untuk “searching information” saja, misal: cari info cuaca lewat Siri di iPhone, dimana sebenarnya potensinya ke depan, kita bisa juga mengintegrasikannya dengan aplikasi gojek, beli sesuatu di tokopedia, membuat janji dengan pihak dokter di rumah sakit, mengotomasi resep dokter via suara tanpa harus menulis di kertas, dll.
  4. Suara adalah aset yang sangat bernilai, karena dia memiliki berbagai informasi di dalamnya, termasuk informasi jenis kelamin, usia, asal daerah, dsb. Bahkan bisa lebih akurat dibanding pengenalan wajah.
  5. Data yang ada pada suara (speech) ini dapat tertuang dalam voice biometrics, yang akurasinya sudah bisa sampai 99,9%, atau error rate di kisaran 0.03%.

 

6. Tidak seperti halnya sidik jari yang pasti identik berbeda, ciri suara dan wajah memang sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, misalnya saudara kembar identik. Hal ini termasuk tantangan untuk para peneliti dan pengembang di bidang speech processing. Tapi bahkan untuk draft biometric pun, teknologi sekarang sudah bisa mengakomodir ratusan parameter, atau contohnya bisa mengidentifikasi suara sampai frekuensi 600, sehingga untuk beberapa kasus, pengenalan suara bahkan lebih akurat dari pengenalan wajah, kecuali jika dilakukan masking (contoh: menutup suara dengan mulut atau sapu tangan), atau memang ada bagian dari fisik yang berubah, seperti gigi rontok, hidung bengkok, paru-paru mengalami gangguan, dll, karena semua akan mempengaruhi. Hebatnya lagi teknologi sekarang, jika ada rekaman saat dua orang bicara sekaligus pun, mesin sudah bisa membedakan dan memisahkan mana yang diucapkan oleh orang 1, mana yang terucap dari orang 2.

pi233pluthom

Komputer untuk orang difabel. Sumber gambar: https://medicalxpress.com/news/2012-07-eyes-device-disabled.html

 

7. Pengembangan teknologi speech processing ini juga sangat memiliki manfaat sosial, terutama saat diimplementasikan untuk membantu para saudara kita yang difabel. Contoh: aplikasi yang ada bisa membantu orang-orang yang tidak memiliki tangan untuk tetap menggunakan komputer ber-sistem operasi Linux dengan cara berinteraksi melaui suara, bukan melulu UI (User Interface).

8. Seperti halnya dua sisi mata uang, setiap teknologi juga memiliki terang dan gelapnya sendiri. Teknik speech processing ini bisa dimanfaatkan untuk kebaikan, tapi juga ada saja pihak yang menyalahgunakan ini sebagai alat untuk menipu, dll. Untuk potensi ke depan, beberapa hal yang bisa dijadikan ide proyek diantaranya adalah: fraud detection di perbankan, speech synthesizer, atau mungkin pengecekan KPI berdasarkan kegiatan mengajar dosen di kelas, bisa juga penyelidikan kasus korupsi.

 

9. Menoleh ke Google, mereka sudah sangat canggih dalam menciptakan mesin yang bisa berkomunikasi seperti halnya manusia. Contoh: Google Duplex, yang sudah bisa melakukan berbagai pekerjaan tanpa manusia harus melakukan banyak intervensi lagi, seperti membuat janji dengan dokter, padahal perlu penyesuaian jadwal yang alamiah terjadi di kehidupan sehari-hari. Tapi Google Duplex sudah bertingkah selayaknya manusia sungguhan.

Sumber: teknologi.id

Sumber: teknologi.id

 

10. Melihat pangsa pasar yang sangat tinggi di Indonesia, Google baru saja meluncurkan produk terbarunya di awal Desember tahun ini, dan dari semua lokasi di dunia, launching perdananya adalah di Jakarta!, yaitu peluncuran ponsel bernama Wiz Phone, yang dibanderol hanya seharga Rp.99.000 dan bisa dibeli di peritel Alfamart. Tidak seperti ponsel canggih tapi juga bukan ponsel abal-abal, kelebihan ponsel ini adalah fitur utamanya dimana pengguna bisa melakukan segala sesuatu via perintah suara saja tanpa harus banyak ketik di layar. Itulah sebabnya ponsel ini justru memang tidak bisa touch screen sama sekali. Tujuannya jelas untuk menciptakan demand di masyarakat akan ponsel berfitur khusus tersebut. Agar masyarakat mulai terbiasa dengan voice command, dan akhirnya poin tersebut menjadi lumrah dan bagian dari kehidupan kita yang tidak bisa dilepaskan. Pendapat tersebut diperkuat dengan harganya yang memang sangat terjangkau, tidak mahal sama sekali, sehingga jelas keuntungan bukan mereka harapkan dari margin hasil penjualan ponsel, tetapi melalui penciptaan pasar untuk tahapan bisnis mereka selanjutnya. Saat kebutuhan dan kebiasaan manusia sudah berubah, Google bisa saja menjual produk-produk mereka yang lain dimana speech processing tersebut sudah lebih canggih dan harganya jauh lebih mahal. Atau mereka juga bisa memanfaatkan data rekaman suara yang ada di seluruh ponsel tersebut, karena itu bisa menjadi sumber pengetahuan dan uang yang melimpah untuk mereka. Karena yang biasanya orang harus bayar jika ingin merekam suara seseorang, Google tanpa harus repot-repot tinggal mengumpulkan segala data yang terekam di alat buatan mereka.

Pada dasarnya kenapa gw anggap hal-hal di atas itu menarik, karena bahkan gw, yang termasuk orang muda yang tinggal di ibukota, gw belum termasuk pengguna mesin suara yang aktif. Gw jarang pake Siri ataupun Google Assistant. Tapi melihat fakta-fakta yang ada, kiranya kita semua sepakat bahwa teknologi pemrosesan suara ini sangat penting dan akan berperan besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Maka dibutuhkan orang-orang yang memiliki minat dan bakat untuk terus berperan aktif dalam pengembangannya untuk di dalam negeri, agar aset kita tetap bisa menjadi milik kita. Terutama dengan mudahnya teknologi, apalagi jika dibandingkan dengan zaman dulu, dimana sekarang semua sudah serba dipermudah, tidak harus semua dimulai dari scratch, dengan bantuan berbagai sistem seperti Keras, Tensorflow, atau Pytorch, semestinya sudah tidak ada alasan untuk kita menganggap ini terlalu sulit. Yang penting nomor satu adalah tekad, kemauan keras, dan selalu ingin belajar.

 

Salam dari Jakarta Selatan yang sedang mendekati tengah malam,

Mohon doanya semoga gw (yang ngetik ini sambil terkantuk-kantuk) juga segera bisa punya paten di bidang data

 

NB: Di luar bahasan di atas, gw jadi penasaran, kenapa ya orang di Jepang lebih getol dalam bikin paten? Secara konsisten mereka termasuk penghasil paten terbanyak di dunia. Dan itu berpengaruh ke orang-orang non-Jepang yang sempat tinggal, bekerja, atau mengenyam pendidikan di sana. 

Kenapa Isu “Women in STEM” Selalu Menarik

_MG_0316

Kiri ke kanan: Ibu Linda Dwiyanti (Consumer Devices Sales Director, Microsoft Indonesia), mba Jezzie Setiawan (Founder & CEO GandengTangan.org), Ibu Deborah Intan (IT Director, Coca-Cola Amatil), aku, mba Hanifa Ambadar (CEO Female Daily Network), Ibu Gezang Putri (Group Head Network Design & Development, INDOSAT Oredoo), pimpinan Microsoft, mba Septa Mellina (Tech In Asia)

 

Biasanya isu ini ramai diperbincangkan di bulan April, yang identik dengan “bulan perempuan”, terutama karena ada Hari Kartini. Tapi aku nulis ini di bulan Mei, agak sedikit menyatakan bahwa, isu ini memang selalu menarik kapanpun pembahasannya.

Lumayan ter-trigger saat jadi salah satu pembicara di talkshow-nya Microsoft Indonesia, aku jadi pengen nulis beberapa poin terkait isu “Women in STEM” ini, terutama di Indonesia. Aku bukan sedang mau liputan kegiatan tempo lalu, karena kalau untuk itu, temen-temen bisa baca di media online seperti Femina, Cosmopolitan, CewekBanget, atau media-nya Microsoft sendiri, dll. Secara praktis, ringkasannya ada di situ. Tapi aku justru lagi pengen share poin-poin yang mungin terlewat dan bisa jadi bahan diskusi lanjutan untuk kita semua. Yaitu:

  1. Ambiguitas di “Women in STEM”

Atau lebih tepatnya mungkin over-generalisasi.

Setiap kali ngomongin “Women in STEM”, menurutku kalau mau lebih jelas, sebenarnya kita harus definisikan dulu “Women in STEM” mana yang dimaksud. Karena sejauh ini, sering bercampur antara women leader in technology industry dengan women engineer or scientist who really do the “dirty job” (technical, scientific, or systemmatical work). Bagaimanapun ini distinctive untuk kita melanjutkan ke bahasan selanjutnya.

Aku tahu beberapa CEO atau direktur perempuan di industri STEM yang basically mereka gak punya kemampuan teknis. They’re totally business persons. Main orientation = money/impact. Maka dari itu, bahasan-bahasan yang bisa didiskusikan dengan mereka adalah lebih ke bagaimana cara mencari talent dengan skill oke, dinamika bisnis teknologi terkini, menyeimbangkan kehidupan profesional dengan pribadi, dst. Sedangkan untuk perempuan-perempuan yang memang berkecimpung langsung dalam kegiatan “ilmiah”-nya, kita bisa menggali lebih dalam lagi hal-hal yang lebih teknis, tentang apakah suatu sistem sudah ramah perempuan, apa yang memotivasi untuk bisa terus update dengan riset terbaru, metoda apa yang berpotensi dikembangkan untuk menyelesaikan masalah di Indonesia, dll. Orientation = knowledge/applied technology.

Ya memang ada juga business women leader yang punya kemampuan teknis. Dan hal ini akan terkait ke poin berikutnya, yaitu…

2. Jalur Karir 

Di banyak perusahaan, seorang engineer tidak dipersiapkan untuk jadi CTO (Chief Technology Officer), tapi malah dibelokkan menjadi analis atau project manager. Hal ini disebabkan karena banyak yang menganggap posisi tersebut lebih tinggi, padahal sebenarnya pindah jalur. Miskonsepsi lagi jika perempuan dianggap pasti lebih cocok di posisi tersebut. Padahal yang satu teknis, satunya lagi manajemen. Bagaimanapun, saat sudah menduduki kursi manajemen, topi insinyur harus digantung, dan role akan jadi sangat berbeda.

3. Pentingnya Women Business Leader in STEM

_MG_0293

Menyebutkan poin-poin sebelumnya, tidak artinya female engineers jauh lebih penting dibanding menempati posisi direktur di industri STEM. Kita tetap butuh perempuan-perempuan untuk menempati posisi strategis di perusahaan, karena perempuan lah yang paling mengerti betul kebutuhan perempuan di lingkungan kerja tersebut. Dan jika memiliki kekuatan/otoritas, kita akan mampu menyuarakan isu, membuat peraturan/kebijakan, dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan atau akomodatif untuk semua gender.

4. Pentingnya Female Engineers

_MG_0250

Melihat fakta yang ada, kita juga membutuhkan lebih banyak female engineers yang punya kekuatan untuk mengubah sistem secara teknis agar lebih akomodatif untuk perempuan. Karena menurutku teknologi pun memiliki kecocokan psikologinya masing-masing. Contoh: Linux. Ambil sampel aku sendiri (haduh, permisi ya permisi :s). Sungguh, sejujurnya aku sendiri sangat tertarik pake Linux. Tapi menghadapi layar kosong dan cuma bisa berinteraksi dengan komputer pake command line itu kesan pertamanya cukup mengerikan. Terlalu banyak ketakutan yang bisa dengan gampang bikin kita mundur, atau mungkin maju, tapi sangat perlahan-lahan. Atau mungkin contoh lainnya: develop game. Jelas game perempuan beda jenisnya dengan laki-laki. Dan kalau developer game-nya adalah perempuan, mestinya ya game tersebut bisa lebih akomodatif juga.

piegraph6gender

Sumber: bit.ly/2IkCpZ0

 

5. Perbandingan Indonesia Dengan Amerika

_MG_0216

Kalau harus berkaca ke pusat teknologi dunia, Amerika, sebenarnya banyak yang harus kita syukuri terkait isu “Women in STEM” ini. Karena jika membahas tentang seksisme di dunia teknologi, di US jelas lebih parah daripada di Indonesia. Di sebagian negara maju lain pun, perempuan di lingkungan kerja mengalami kesenjangan bahkan dalam hal pendapatan untuk pekerjaan yang sama. (Contoh lain: di Australia) Perempuan bisa dibayar lebih rendah daripada laki-laki hanya karena dia perempuan. Sedangkan spesifik di industri STEM, bisa juga berkaca, salah satunya lewat buku Sheryl Sandberg (COO Facebook) yang berjudul Lean In (baca review-nya di sini), bahwa banyak kendala dan tantangan yang sekiranya di Indonesia tidak terjadi karena justru di negara kita lebih akomodatif (entah berapa kali aku udah nyebutin kata ini).

Isunya sekarang adalah, jumlah female engineers di Indonesia lebih banyak daripada di US. Tapi jumlah CTO Perempuan di sana kenapa bisa lebih banyak. Dan hipotesa sementara adalah terkait kultur. Jadi bukan traits yang inherent di perempuan, stereotip bahwa perempuan lebih gampang bosan, emosional, dll. Karena data menunjukkan, skill atau kapabilitas untuk satu role itu gender-less, siapapun bisa.

6. Isu Work-Life Balance

_MG_0234.JPG

Well… Ini adalah salah satu isu utama sebenarnya, bukan hanya di “Women in STEM”, tapi perempuan di lingkungan kerja pada umumnya. Aku sendiri kalau lihat direktur perempuan hebat, yang aku tanya pasti dua hal: cara mengatur perusahaan, dan cara me-manage keluarga sekaligus. Dan atas dilematika yang muncul, bahkan dari kalangan antar-perempuan sendiri, menurutku, jika kita ingin mengembangkan “Women in STEM”, kuncinya adalah: Stop mendikotomikan perempuan! :B Dikotomi ibu rumah tangga dan wanita karir hanya akan membuat kotak yang tidak perlu. Seolah-olah perempuan hanya bisa memilih salah satu dan mengorbankan yang lainnya. Ini sungguh sumber drama yang tidak penting. Belajarlah dari wanita-wanita hebat, maka akan kita temui para pemimpin perempuan yang simpatik yang juga sekaligus mereka adalah para ibu yang profesional.

(Kalau kata Bu Gezang dan Bu Deborah, tips-nya utamanya adalah: wajib cari pasangan hidup (suami) yang tepat :3)

7. Role Model

_MG_0276

Semakin banyaknya role model perempuan dalam industri STEM akan mempengaruhi perempuan-perempuan lain dalam melihat kesempatan yang ada. Bahwa banyak posisi yang bisa perempuan tempati, baik di teknis maupun strategis. Ditarik lebih jauh lagi ke pendidikan dasar, bidang-bidang keilmuan pun harus lebih banyak disosialisasikan agar masyarakat tahu sedini mungkin tentang cabang ilmu luas yang bisa dipelajari, profesi yang bisa dikejar, termasuk oleh anak perempuan.

Dan aku jadi inget video bagus dari Microsoft seperti berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=y5soEtBwH0Y (coba tonton deh >,<)

Akhir kata, kesimpulan aku sejauh ini adalah, masih sama dengan kesimpulan aku sewaktu pulang belajar dari Australia tentang gender study, bahwa perempuan dan laki-laki itu memang butuh treatment yang berbeda jika ingin sustain. Namun jika terkait urusan pekerjaan, sebagai perempuan, kita sendiri harus berani bersikap profesional dan menyatakan bahwa, “No, I’m not a female engineer. I am an engineer”. 

 

5 Mei 2018,

Salam hangat dari Jakarta,

dari aku yang juga badannya masih hangat

 

 

PS:

  • Terima kasih kepada pihak Microsoft yang sudah memberi kesempatan hadir di acaranya
  • Hormat dan respek aku juga untuk Microsoft Indonesia yang mendukung “fleksibilitas kerja”, dan hal-hal lainnya yang akomodatif untuk perempuan berkarir di Microsoft
  • Catatan aku ini juga terinspirasi dari obrolan santai di halaman Facebook-ku bersama teman-teman. Jadi terima kasih untuk Pandu Sastrowadoyo, mas Sumyandityo Noor, dkk 😉
  • Jangan lupa stay cool be awesome untuk semua “Women in STEM” di luar sana. Yoms! \m/

_MG_0308

 

One Thing At A Time, Data Mining, and Kindle

IMG_5102

Ok, sorry for the photo

 

Guess what? I’m currently in the middle of my reading and choose to take a break just to write this post. I’m reading Data Mining – Practical Machine Learning Tools and Techniques (some people recommended this one, so I give it a try), written by the practitioners of WEKA, one of the powerful softwares to mine data, and I expect this book is really practical just like mentioned in its title. I spent several hours to reach half of this book (around 250 pages) and I think it’s pretty fast, because I was not skimming, but really reading it comprehensively. Why so? How could I do that?

Recently, I’m practicing to apply a method, that may be very common to all of you, but not everyone doing it: “One Thing At A Time” method. Started when a friend of mine telling me something about healthy eating behavior. She said that, if we have to choose between bathing and eating, what should be done first, it’s better for us to do bathing first and eating afterward. Why? Because when doing food digestion, our body needs to focus and not distracted by any other activities. She even said that, bad digestion can produce toxic. So when we eat, it’s not recommended to double the job by reading books, watching movies, checking social medias, stalking your ex-es, or so on. And I think it’s also relevant generally. People nowadays are crazily obsessed by multi-tasking, like we have to accomplish so many things at a time. The question is: is it really work? I personally think that it is a toxic (at least for me). Instead of being a benefit, it usually becomes a threat. When we’re doing jobs and keep moving from one to another, most likely we end up by not finishing them all well. Or worse, none of them is finished. Well, some people might say that they can deal with that, but me, even without distraction, my mind is often branched far off the topic, so it’s best to get rid of all unrelated stuff. And to make it more powerful, I even wrote the sentence in a big sheet of paper and put it on my wall: ONE THING AT A TIME. Whuff~

So, done with the method and back to the book. I finally chose to take a break because after finish half of it, I found that this book is veryyyyyyy…….. useless 😐 (I give the link below this post if you want to download the PDF and read it too). The authors waste my time by babbling about data mining application in different industries until page 90, which not necessary needed. And when they move into technical chapters, I found them not easy to understand, unless data mining is already in you (with that advanced statistics, complicated formula, and well programming skills), and you just read this book as a supplement. So, I think I will shift to another book: Mining of Massive Datasets, and decide whether this one is better or judge that these books are typical.

511pKebJTTL._SX258_BO1,204,203,200_

Lets see…

 

Talking about books, usually in weekdays I spend 1-2 hours for reading. But in the weekend like this, I can spend so many hours only for consuming words and extracting information from books, and now I’m starting to worry. Not because of the reading, but the medium. You know, of course I do love physical books. But since my reading is dominated by English books (which are not cheap to collect them all physically, and not all of them are provided in near places either), my books now are mostly in digital form, and I read them all through gadgets. We can imagine, even without reading books on a laptop, I spend my time staring at the screen for so long, for improving skills, coding, doing tasks, emailing, and other activities. And when I want to relax and doing what I love, which is reading, I still have to torture my eyes with shiny lights from LCD? Oh My….

So now I’m seriously considering about using Kindle. But because it is not officially sold in Indonesia, perhaps I have to find a way how to get it. Well, surely those local marketplaces are selling it, but, are there some issues to be concerned about? Or is it just okay to buy from the local seller with a higher price? Will there be any trouble with US credit card payment? Oh, please, for any of you who have experience, do share with me, I will be very appreciate it. Meanwhile, I’ll be using this laptop or smartphone and aching in tears when it takes too long. Huhuhu…

61shyF063PL._SL1000_

Craving for thisss!

 

 

In the mid-day, when all my eyes want to see are green leafs and prairie,

hope that I will never have to use reading glasses in my whole life

 

 

Download PDF:

Data Mining: Practical Machine Learning Tools and Techniques – Ian H. Witten & Eibe Frank

Mining of Massive Datasets – Anand Rajaraman & Jeffrey David Ullman

MicroMasters: Cara Lain Masuk MIT!

capture-20170209-010844

Jeng jeng! Mistis abis.

 

Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba rasanya MIT memanggil aku, haha XD Hidup kok rasanya penuh surprise, apa yang terjadi malah selalu di luar dugaan, dan kayaknya kita cuma disuruh ngikutin aja. Jauh lebih sering pahit, tapi sesekali manis, yaudah lah, pasrah. Dan sekarang tiba-tiba dapet ilham untuk berusaha bisa lanjutin sekolah nanti ke MIT. Sekarang tapi nanti, gimana maksudnya coba? :))

Jadii ceritanyaa, aku baruu aja tau sama yang namanya program MicroMaster, yang padahal udah di-launch MIT dari tahun 2015. Yaitu gini… MIT bakal buka program master khusus mereka tahun 2019. Nah, tapi sebelum kesana, kita udah bisa mulai sebagian sekolahnya dari sekarang. Iya, dari sekarang! Caranya adalah, ngambil 5 course online via Edx, yang subjek-subjeknya udah ditentuin dan dijadiin 1 paket tergantung jurusan yang mau kita ambil. Di awal launching sih mereka baru buka jurusan SCM (Suppy Chain Management), dan saat aku nulis ini, mereka udah nambah jurusan baru, yaitu DEDP (Data, Economics, and Development Policy). AHAAAAAA!!

capture-20170209-014913

More coming soon, guys. Kalo jodoh gak kemana. #yazheg

 

Kalau udah lulus Edx, yang mana gak gampang banget juga (perbandingannya 40/27000 atau equal 1/675 berdasarkan data dari sini), kita bakal diminta ikut proctored exam. Bisa 1x final exam untuk keseluruhan, atau 1x exam per course (berarti total = 5 exams), tergantung program dan kebijakan mereka. Kebayangnya sih, yang namanya proctored exam, bisa kayak GRE gitu kali ya, tes beneran yang memastikan orangnya ada dan memang bisa. Bobot nilainya proctored exam:Edx = 60%:40%. Abis itu dapet surat lulus MicroMaster, terus bisa daftar program Master Degree, kuliah langsung 6 bulan deh di MIT, Amerika!

capture-20170209-011225

ngene loh ngono

 

Walaupun setelah aku googling-googling lagi sih aku nemuin ini:

“they will come to MIT for a single semester to earn an accelerated master’s. In the summer following their semester in Cambridge, Massachusetts, they will also complete a capstone experience — consisting of an internship and corresponding project report”

yang artinya secara total sih bisa jadi 6-10 bulan sampe bener-bener kita wisuda master, hehe.. Worth to try laaah…

Naah.. catatannya, yang ini kuliah online Edx-nya berbayar. Jadi sebisa mungkin memang harus committed. Tapiii… baiknya lagi adalah, biaya kuliah bisa disesuaikan dengan pendapatan masing-masing kita, dari $100-$1000 per course. Cocok juga lah untuk yang punya kegiatan lain, masih kuliah, kerja, atau berbisnis, karena jadwal belajar disini bisa fleksibel.

capture-20170209-012506

biaya sekolah tergantung pendapatan tahunan

 

Beberapa poin punya aku pribadi sih ini:

1. Untuk jurusan DEDP, aku seneeeeeenggg banget karena bidangnya ini juga rasanya Haniiii banget >,< Bakal belajar soal microeconomics (nyambung sama kerjaan), data analysis for social scientists (jiwa science masih bisa tersalurkan, dan juga main data!!! coz basically I’m an engineer), bakal ngomongin global poverty (yes! yes! I wanna help people, please!), dan juga belajar gimana cara mengembangkan sebuah policy (well, yang ini aku agak so so, walaupun kayaknya akan berguna juga kalo nanti tiba-tiba Hani kepilih jadi mentri ^^)

2. If only you know me, core-nya aku akan tetap seorang pengusaha (karena panggilan jiwa dan jalan hidup yang aku pilih untuk bisa bantu orang), tapi aku juga sangat suka belajar. So, aku akan selalu seneng untuk sekolah, sampe kapanpun. Dan di sini, tanpa iming-iming master degree-pun, sebenernya course-nya memang akan sangat berguna untuk aku implementasikan sehari-hari. The degree is just a bonus. Jadi apapun yang terjadi nanti, aku emang pengen pelajarin ini. Dan aku harap temen-temen juga punya passion yang sama, bersemangat justru karena proses belajarnya.

3. MIT is obviously a trend-setter. Sekarang akhirnya banyak kampus yang ikut mengembangkan program MicroMaster-nya mereka juga, ada Michigan Uni, Columbia, Curtin, Harvard (soon), dll. So, untuk yang pengen cek kampus lain atau bidang lain, kalian bisa langsung lihat disini (walau gak semua bisa lanjut ngampus beneran).

capture-20170209-012427

Oke, Pak.

 

4. Semua indah pada waktunya. Kok rasanya 2019 juga adalah waktu yang paaass banget untuk ini semua, karena sekarang aku sendiri masih sibuk ini itu, bisnis, sekolah, dll. Dan sampe 2019 nanti, semoga semua usaha dilancarkan, begitu pun untuk kalian semua.

5. Anyway, kok mereka lebih milih Edx ya dibanding Coursera atau OCW mereka sendiri? Hehe :B

6. Program MIT ini (SCM dan DEDP) adalah percobaan awal mereka menggunakan MOOC sebagai jalur masuk. Mana tau nanti mereka ganti lagi, jadi coba aja yuk!

Daaaannn… ayo daftar sekarang kalo mau bareng sama akuuuuu….!!! Kelasnya dimulai minggu ini, makanya aku buru-buru posting kali ada yang mau barengan^^ Kalo nggak, ya mesti nunggu lagi sampe ntar kelas baru berikutnya dibuka.

Ah, semoga semangat ini selalu membara di tengah-tengah segala stress dan kemumetan. *ketawa meringis*

Sekian dulu untuk kali ini. Seneng banget bisa ikut bercerita sama kalian. Sampe jumpa di kelas yaaa!! \:D/

 

Tengah malam dan kelaparan,

tapi malah lagi banyak yang pengen diceritain

 

 

PS: Thx to mas Aul, orang pertama yang ngasih info dan akhirnya ikut “ngeracunin” aku juga untuk ikut ini. Yuunowmisoweeell~~

Sumber: micromasters.mit.edu

Ngomongin Listrik Gak Pernah Seasyik Ini #Part1

f9026-52_1_1323173018

Dengan konsep #SmartGrid, transfer energi listrik yang terjadi gak cuma dari PLN ke konsumen, tapi bisa juga sebaliknya \o/ (Sumber gambar: http://maps.meshcities.com/reports/view/52 )

 

Hai, semuanya! Apa kabar? 😀

Sebenernya sih postingan kali ini mestinya Hani gak ribet sama sekali, karena cuma diminta share titipan tulisan orang, hihi.. Tulisannya Ryan Triadhitama yang beneran jadi kepancing nulis karena postingan Hani sebelumnya di blog sebelah :)) [Link Disini] (mending ini dibaca dulu sih biar agak nyambung, gituu :p)
Jangan tanya juga kenapa dia lebih milih nitip posting disini dibanding bikin blog-nya sendiri. Kayaknya dia gak kepikiran buat ngelola blog lagi, walaupun ini bidangnya dia banget dan sebenernya dia juga pengen share banyak sama orang-orang seputar isu ini (terutama curhat hasil beberapa tahun jadi enjinir di Jepun kali ya :p). Tapiii.. dari yang asalnya gak niat itu, jangan salah… pas kirim draft tulisan, ternyata gak nanggung2 bo, 5 halaman word! Nyahahaha.. Udah gitu, bilangnya; “nanti ada part.2-nya ya nyusul”. ^_^
Maka, inilah.. awal perjalanan dari obrolan listrik kita.
Dan tapi maaf lagi ya, aa Ryan. Berhubung dirimu pake lapak Hani, Hani juga jadi punya objektif sendiri nih, hehe (>,<)
Kalo obrolannya teknis banget, ntar gak ada bedanya dong sama diktat kuliah o.O
Aku pengen diskusi kita enjoyable untuk siapapun. Compromise the gap between the technical geeks and common people, my job. Dan kalo bisa sih, jadi nambah juga cewek-cewek yang doyan sama topik ginian. (Ayo a, tunjukkan pesonamu! xP)

3f88d-s__4866069

“Halo, neng2. Ada yang mau main setrum?” | *dijitak 8))

Bagian pertama ini masih pemanasan kok. Mari kita simak 😀
 .
Pentingkah Keseimbangan Energi Listrik? 
By Ryan Triadhitama (ryantriad@yahoo.com)
 Spoiler alert! Jawabannya penting abis!!
 .
Energi listrik itu sebenernya adalah bentuk energi yang relatif mudah dikonversikan. Sama seperti bentuk energi lainnya, energi listrik gak bisa diciptakan, tapi merupakan hasil konversi energi lain, seperti energi kinetik, thermal, dkk. Lalu, energi listrik juga gak bisa dihancurkan, tapi bisa diubah ke bentuk energi yang lain-lain tadi. Sayangnya sih gak bisa dikonversikan ke energi cinta…
Distribusi transmisi energi listrik itu gak ribet. Dari pembangkit sampai costumer-end emang perlu teknik macem-macem supaya bisa disalurkan secara maksimal. Tapi itu mending.. daripada coba bayangin kalo gak ada energi listrik dan kita cuma bisa pake energi kinetik air. Kebayang gak selang-selang, pipa-pipa segede gaban yang akan melintas overhead. Wuiiiii….
Salah satu keuntungan energi listrik yang lainnya adalah bisa disimpan. Bisa secara langsung, masih dalam bentuk energi listrik seperti baterai, atau bisa juga disimpan dalam bentuk energi lain, seperti energi potensial air. (gimana caranya hayooo?!)
Nah, kelebihan-kelebihan energi listrik di atas lah yang jadi alesan kenapa energi listrik itu needs-nya banyak banget dan bakal terus bertambah. (begitu pun juga needs electrical engineer, sebagai professional engineer dan sebagai pasangan dambaan bermasa depan cerah.) (haisshh.. si aa :)))
Untuk melayani needs energi listrik yang teruuuuusss meningkat, pembangkit listrik dibangun dimana-mana. Bahkan waktu artikel ini ditulis dan dirilis (Agustus 2015), pemerintah lagi gencar-gencarnya membangun pembangkit 35000 MW. Tujuannya ya selain untuk menerangi rumah para pembaca, juga untuk melayani industri-industri yang sudah ada dan/atau yang akan dibuat di Indonesia. Maka secara tidak langsung, energi listrik juga memberi energi ke roda perekonomian negara ini toh?
Untuk menghasilkan energi sebanyak itu, bisa saja pemerintah atau IPP (Independent Power Producer) membangun pembangkit listrik tenaga uap, apalagi dari batubara. Satu pembangkit tenaga uap bisa menghasilkan sampai 2GW (2000 MW). Dan kalau kita bangun 18 pembangkit tenaga uap masing-masing 2GW, kan bisa beres cepet tuh! Gak perlu bangun pembangkit yang lain banyak2!
Well,,, tapi sayangnya gak bisa sesimpel itu. DAN, dari sinilah inti diskusi tulisan ini dimulai =] (setelah muter ngalor ngidul kemana-mana, phew~)
************************************************************
*Anda penasaran lanjutan ceritanya? Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keseimbangan listrik? Kenapa itu penting? Dan ada hubungan apa antara Syahrini dengan Aliando? Nantikan semuanya di episode berikutnya ;D
kamar, Jumat pertama di bulan Agustus
 
di tengah project masang solar panel juga untuk studi kasus
 
 
PS: Bahasan kontekstualnya baru dikit biar gak TLDR. Nunggu respon dari para pembaca dulu aja, hehe..
Masukan dari @GiriKuncoro:
Soal penyimpanan, diksi yang tepat memang “kita bisa store energy”, tapi “kita gak bisa store listrik”; energi dan listrik itu beda. Kalo listrik, dia harus seimbang terus supply and demand-nya, makanya butuh load balancing, gak bisa disimpen. Efisiensi jadi sangat krusial.


——————————————————————————————————————–

Tapi terus ternyata sang narasumber ngerasanya tulisan di atas nanggung banget, jadi mari kita langsung lanjutkan saja ke episode berikutnya XD

Pengantar: Kurva Beban

Apakah teman-teman sudah familiar dengan apa yang disebut dengan “Load Curve” atau “Kurva Beban”??
(Jika sudah, bisa di-skip penjelasan di bawah ini.)

Kurva beban itu grafik konsumsi energi listrik suatu area dalam jangka waktu 1 hari (24 jam), bisa juga mingguan, atau tahunan. Kurva beban di Indonesia bisa dilihat di situs ini: http://hdks.pln-jawa-bali.co.id/app4/system.php. Gambar berikut adalah sala satu contoh kurva beban harian di suatu daerah:

Dari kurva di atas, bisa dilihat pola konsumsi energi listrik di suatu daerah yang makin siang demand energi listriknya makin tinggi. Mulai pagi pukul 08:15, aktivitas manusia mulai aktif, mesin-mesin di industri mulai beroperasi, begitu pun dengan kantor-kantor, dan berbagai macam aktivitas lain yang mengkonsumsi energi listrik. Kemudian, bisa dilihat saat siang menjelang pukul 12:00, masuk jam istirahat, mesin-mesin dalam keadaan stand by, operatornya makan-makan dulu, ngobrol dulu, sholat dulu, dan jam 13:00 aktivitas dimulai lagi. Hari mulai gelap, shift malam di pabrik pun dimulai, dan karyawan-karyawan yang pulang mulai menghidupkan TV dan lampu rumahnya, ABG2 mulai main game di komputer dan setel lagu masa kini di kamar masing-masing. Mulai saat itu juga demand energi listrik akan naik lagi. Mulai pukul 20:00, orang-orang sudah mulai ngantuk. Setelah matikan TV, mereka masuk ke kamar, matiin lampu, masuk kasur, dan tidur. Konsumsi energi listrik makin menurun. Di pabrik pun shift malam mulai berakhir. Mesin-mesin mulai dimatikan, konsumsi energi listrik mencapai minimum-nya pada pukul 03:30. Pukul 06:00 fajar mulai menyingsing, dan aktivitas manusia pun dimulai. Mulailah demand energi listrik naik perlahan-lahan, memulai siklus yang sama setiap harinya.

Dari kurva di atas juga, bisa dilihat bahwa konsumsi energi listrik itu akan berubah-ubah seiring dengan waktu dan pola aktivitas manusia.

Nah, melihat pola seperti kurva beban seperti itu, seandainya kita hanya punya banyak PLTU batubara, meskipun total kapasitasnya sesuai dengan demand energi elektrik maksimal per hari, apa yang terjadi? Kita bakal punya kelebihan energi listrik!! “Lha matiin aja PLTU-nya bisa toh, bang?”. Ndak bisa segampang itu lah, dek.. Matiin pembangkit itu gak bisa secepat pencet tombol dan mati, pencet tombol dan hidup. Pengalaman saya sih, untuk matiin PLTU itu bisa memakan 3-5 jam!! Steps untuk matiin dan ngidupin PLTU itu buanyak buanget!! Buku operation manualnya aja ada 2 jilid untuk ngidupin dan 2 jilid untuk matiin. Belum lagi mode operasinya ada macem2. Aje gile ga tuh!!

da365-srly1

Salah satu contoh PLTU di Suralaya, Banten. Gak bisa gitu aja langsung di on/off v(^,^) (Sumber gambar: http://www.indonesiapower.co.id/SitePages/NewsDetail.aspx?dN=497)

Keseimbangan Suplai Energi Listrik


Tantangan dalam power generation, distribution, dan transmission itu adalah bagaimana caranya supaya energi bisa disuplai dalam jumlah yang tepat, gak kurang, gak lebih, sesuai dengan demand energi listrik (Load atau Beban). Kondisi itu yang disebut balance.. Seimbang..

Soalnya, “Kalau energi listriknya kurang, tegangan bisa drop, frekuensi listrik juga drop. Kalau energi listriknya lebih, tegangannya naik, frekuensi listrik juga naik.” Dari efek-efek anomali di atas, itu bisa berakibat buruk ke pembangkit yang menyuplai listrik dan juga peralatan-peralatan yang terhubung.
Kalau diandaikan oleh sepeda, kecepatan sepeda harus bin wajib bin kudu sesuai dengan specified speed dan dijaga konstan setiap saat, gak boleh terlalu kenceng atau terlalu lambat. Kalo nggak, sepedanya beserta muatannya bisa jatuh! Ya kira2 begitulah.

Faktor penentu kualitas listrik (power quality) di suatu negara, sebenarnya bukan ditentukan oleh frekuensi black-out (mati lampu) saja. Tapi, kestabilan tegangan dan frekuensi grid juga taken into account. Mau tahu ranking kualitas electricity supply di Indonesia keberapa? Kita menempati urutan ke-93 dengan nilai 3.9 pada periode 2012-2013! (bisa merujuk ke tautan ini http://photos.state.gov/libraries/indonesia/890636/pdf_001/business_power-sector.pdf)

Seberapa pentingnya sih menjaga kualitas suplai listrik? Jawabannya; Tahukah anda kalau kestabilan tegangan dan frekuensi itu mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan industri? Listrik yang berkualitas juga akan mengundang para investor untuk membangun industri di Indonesia. Kemudian terciptalah lapangan kerja yang lebih banyak untuk menghidupi rakyat. Kemudian, jika barang dihasilkan berkualitas, maka demand akan produk Indonesia bertambah, dan perdagangan makin makmur bin mujur dan Indonesia pun bisa ketiban untung. Warbiyasa bukan??

Sebenernya ada cara lain untuk mengakali jeleknya suplai listrik di Indonesia, yaitu dengan teknologi inverter yang akan men-suplai listrik lebih stabil ke alat-alat di industri. Tapi, para pengusaha harus invest di inverter yang harganya warbiyasa muahhhalll!! Gak boong!! Belum lagi efek samping dari inverter yang mengasilkan harmonic current ke-grid. Wahhh……
(terus Hani nanya “harmonic” itu apa. A Ryan: mmm.. sejenis noise. Kalo org teknis pasti ngerti)

More about power quality https://en.wikipedia.org/wiki/Power_quality and power quality ranks: http://www.statista.com/statistics/268155/ranking-of-the-20-countries-with-the-highest-quality-of-electricity-supply/

e6407-10670137_4601567335077_3526812844761156569_n

Cantiknya para penari langit di Sumba Timur. Pembangkit listrik tenaga angin Palindi oleh IBEKA/Pertamina/LAN (Sumber gambar: facebook bang Ricky Elson yang juga pegiat energi mandiri di Ciheras, Tasikmalaya)

Keseimbangan Suplai Energi Listrik: How To


Salah satu cara untuk menyeimbangkan supply & demand itu, adalah diversifikasi jenis dan ukuran pembangkit.
Pertama, setiap jenis pembangkit itu waktu untuk matiin dan ngidupinnya beragam, ada yang cepet, ada yang lambat. PLTA contohnya, bisa dihidupkan dan dimatikan dengan cepat, antara 1-5 menit. PLTG juga bisa dioperasikan dengan cepat. (Saya kurang tahu juga berapa lamanya, tapi katanya sih cepet!). PLTU, PLTN, PLTP bisa benar-benar lambat, bahkan sampai berjam-jam.
Kedua, untuk small power supply adjustment, pembangkit-pembangkit kecil bisa dimanfaatkan. Kalau besar semua, waaahh susah, bro! Kalau cuma butuh sedikit doang, PLTA small scale atau PLTG bisa dimanfaatkan. Lagian butuhnya juga bukan untuk waktu yang lama-lama amat =)

Sebenernya, ada 3 pengklasifikasian jenis pembangkit; base, intermediate, & peak. Yang base load itu seperti PLTN, PLTU, atau PLTA run-of-the-river. Fungsinya untuk menyuplai beban dasar (base load). Kalau pembangkit base udah ga mumpuni melayani beban2 yang bertambah, pembangkit2 intermediate dioperasikan. Kalau sudah sampai beban peak-nya, barulah pembangkit peak dioperasikan.

Sebenarnya lagi, penyeimbangan supply & demand energi listrik itu bukan hanya mengatur timing operasi pembangkit saja, tapi bisa juga menggunakan Grid Energy Storage atau Smart Grid. Mau tau lebih lengkap?? Ikuti artikel blog selanjutnya ya!

Fyi:

df1b2-earth-hour

Did you know??? Earth Hour itu sebenernya bisa jadi musuh loh! Memang energi yang dipangkas cukup banyak hingga ratusan MW (di Indonesia sekitar 200 MW), cukup untuk mematikan 1 power plant. Tapiii… durasinya yang cuma 1 jam itu loh yang bikin nanggung! Baru juga matiin mesin, eh udah disuruh idup lagi. Hahaha.. Kalau dibikin 6 jam kayaknya lebih asik. Mana tau dengan bergelap-gelapan di malam hari, kita bisa motret milky way di langit kota yang gelap pekat, ihiyyy~
*jadi inget, di Jepang gak ada Earth Hour lho! Wkwkwkwk..
.
.
Keseimbangan Suplai Energi Listrik: Pengaruh Renewable Energy


Renewable energy (energi terbarukan) seperti solar panel, solar heat, wind turbine, etc juga sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan energi listrik secara instan. Tapi, ada sisi buruk dari pembangkit ini. Renewable energy sangat tergantung oleh keadaan alam seperti angin, awan, atau suhu, sehingga output dari pembangkit pun menjadi angin-anginan (pun intended). Kita tidak punya kuasa atas keadaan-keadaan tersebut sehingga kita juga tidak bisa mengendalikan output dari pembangkit. Efeknya, nilai dari jumlah energi yang dibangkitkan akan terjadi fluktuasi. Hal ini menyebabkan pengendalian keseimbangan supply & demand menjadi sulit. Kestabilan tegangan dan frekuensi grid pun terganggu. Belum lagi inverter yang digunakan oleh solar panel atau wind turbine. Harmonic-nya itu loh bow! Mengganggu sekaleh! Diperlukan lagi alat untuk memfilter harmonic yang dihasilkan tersebut, atau kadang sebuah transformer juga bisa dipakai.

Oleh karena itu, (sebenarnya) pembangunan renewable energy power plants memerlukan infrastruktur tambahan untuk meredam fluktuasi energi. Infrastruktur ini sifatnya menyimpan energi yang berlebih saat energi yang dihasilkan lebih banyak dari konsumsi. Ketika tambahan suplai energi diperlukan, energi tersebut bisa langsung disuplai ke grid dengan cepat. Ya.. mirip-mirip sama kapasitor laa.. Contoh dari infrastruktur ini adalah pump storage power plant, ternary power plant, atau battery station. (apaan tuh, bang?? Akan dibahas di artikel blog selanjutnya yak.

5771f-ota-city-solar-power-japan

Solar panel yang terpasang manis di rumah-rumah di Jepang, salah satu negara yang sangat mendukung energi terbarukan. (Sumber gambar: http://cleantechnica.com/2012/08/17/leasing-finance-company-to-invest-nearly-700-million-in-japans-solar-power-market/)

Pengalaman saya dari kerjaan sebelumnya, Amerika, Eropa, dan Jepang punya infrastruktur seperti di atas untuk mengkompensasi PLTN dan renewable energy power plant mereka. Kalau di Jepang sendiri, mereka banyak mengandalkan pump storage untuk menstabilkan suplai listrik. Ada sekitar 50 plants kalau tidak salah. Beberapa diantaranya itu adjustable speed pump storage power plant. (apa pulak itu bang???)

Di ASEAN, Thailand sudah punya pump storage power plant, namanya Lamtakong (kalau tidak salah tulis). Denger-denger, ini jadi pump storage pertama loh di ASEAN! Tapi santai… Indonesia akan memiliki pump storage baru, namanya Cisokan Atas atau Upper Cisokan. Katanya sih 2017, cuma yaa ndak tau yaa ^^

Kebanyakan, renewable energy itu dipakai untuk island operation, hanya mensuplai satu daerah saja, tidak terhubung dengan grid besar. Mungkin setelah mantap grid besarnya, baru bisa dihubungkan. Asiknya, berbagai macam tipe renewable energy bisa digabungkan menjadi satu system loh! Thanks to power electronic technology that makes it happen. Salah satu implementasi yang pernah saya liat, mereka menggabungkan solar panel, solar heat, dan wind turbine untuk mensuplai satu daerah di Jepang. Output dari masing-masing berupa listrik DC, kemudian di-convert ke AC menggunakan inverter. Sayangnya penggunaan inverter masih costly. Tapi akan tiba saatnya kok teknologi itu jadi murah. Tenang saja =)

Tambahan: Tanggapan Atas Isu Jual Beli Listrik Dari Solar Panel

2a9af-capture-20150817-183608

Hasil search dengan keywords terkait. Lumayan nih…

Akhir-akhir ini jadi sering dengar tentang rencana PLN untuk membeli listrik dari solar panel yang dipasang di rumah-rumah. Saya sih setuju banget sama konsep ini. Karena kalo mau bikin solar field, itu butuh lahan segede gaban. Masa buka hutan lagi? Katanya green energy, masa motongin pohon di hutan-hutan? Terus, panelnya itu kan harus di lap satu-satu perhari loh! Kebayang dah ngelapin panelnya satu-satu selapangan sepak bola. Capek bow! Dengan nebeng solar panel di atap rumah, kan jadi bisa memaksimalkan space. Udah gitu, maintenance-nya bisa minta dilap sama asisten yang ada di masing-masing rumah itu, minta agar dirawat baik-baik. PLN juga jadinya bisa menghemat investasi biaya pembelian solar panel yang lumayan mahal. Tapiii.. PLN harus mengawasi peralatan-peralatan yang dipasang di tiap rumah, memastikan semuanya lulus standar. Kalo tidak, inverter abal-abal saja dicolok ke grid, wah bisa bahaya! Kenapa? Karena fitur utama on-grid inverter itu ada fitur anti-islanding. Kalo seandainya terjadi black out, inverter otomatis mati sendiri. Kalo nggak, orang PLN yang lagi benerin kabel bisa-bisa kena sengat listrik dari inverter abal-abal. Dan satu lagi, inverter yang abal-abal itu kandungan harmoniknya tinggi. Efeknya jadi nambah jelek kualitas grid. Nah, kandungan harmonic itu diatur oleh standar di setiap negara. Jadi kalo inverter yang sudah lulus uji PLN, mestinya kandungan harmonic-nya jadi lebih bagus dong!

–end of part.1–
*to be continued

Hatur nuhun kanggo neng Hani yang udah merelakan blog-nya ditumpangi artikel ini.

Any questions? Ask me!
Any thoughts? Share below!

Cheers!

Ryan Triadhitama (ryantriad@yahoo.com)

————————————————————————————————————–

Hehe.. Oke, sama-sama aa! Terima kasih juga sudah memeriahkan blog ini dengan tulisannya yang aduhay 😀

Nahhh.. kali ini beneran akhir dari tulisan perdana kita :)) Gimana? Makin tertarik sama listrik? berminat untuk pasang solar panel juga di rumah? Ditunggu tanggapannya ya! 😀

With luv n hi spirit,

Hani Rosidaini 

Disclosure: postingan ini hasil repost dari http://hanirosidaini.blogspot.co.id/2015/08/ngomongin-listrik-gak-pernah-seasyik.html untuk tujuan integrasi blog

Lets Talk About Power & Electricity! :D

quote-all-power-corrupts-but-we-need-the-electricity-anonymous-287909 Hi, Hani is back! *grinning*

So much stories, so little time. I really wish I could have all the time in the world, (and the good mood for writing as well, lol). Fyi, I do even have several blogs for different purposes, but none of them is updated in recent months. *grinning wider*

As a person who really love to share stories, everytime I meet or have a good conversation with people and get something new from them, I always become very excited to reshare it with others. Usually they were my family or close friends, but sometimes I find no one fits into my stories, then I choose to write it on my blog, expect nothing but to deliver my excitement, besides as a reminder for myself in the future. Well, just like now. My hands soo itchy already to grab my laptop and start writing. But you know what? It’s not always that easy to jot down in words, it like a hard nut to crack. But.. instead of posting nothing, I found a better idea; How if I just post the chat here? Ha ha ha.. I dont have to edit, so that you can read the whole things that we discussed about. Clever, eh? ;)) (not sure if it’s clever or lazy)

This time I was talking about electrical generator, hydro power, and solar pv system with a buddy (hello,, Mr. Ryan Triadhitama :p). He’s a power engineer who just resigned from Toshiba Japan after worked there for about 3.5 years. He just come home for good, prepare his study to pursue the master degree in the UK, focused on… future power network? smart grid? smart power generation? yea, kind of that sort ^^ I need his insights for my upcoming projects, so here are our chats…

1h   2

Need translation? Please do wait until tomorrow, xixixi

Then ha! I remembered I ever read about that enefarm: http://panasonic.co.jp/ap.FC/en_doc03_00.html The advertisement had started from 2008. The cost is quite high, but he told that the outcome is also the same, unstable. Nya nyaa X3

3 4 5

And about solar pv system: (already in English)

6 7 8u

9 10j 11

12 13 14

Urghhh.. I’m suddenly covered with the glorious of curiousity. I really want to learn how those all work X)) And since I got a business partner who also associated with Japan company, actually it should be delicate, ehe ehe ehe.. Japan wish to have role model in here, in Indonesia, and by that, we also can learn from them and make the improvement after all. Hope anything goes well~

jua;

schematic diagram for pv in house, the electricity incl. for sale

S__4538395

not for sale, but we need the battery

So, any of you who also interested in this subject? Lets discuss more! I also want to hear your stories 😀 And for aa Ryan, mmm… wish you nothing but good luck for anything you planned. Please surprise us, just like the electromagnetic shockwave. *droll*

Bandung, H+4 Iedl Fitr

under the blanket, dealing with my fever

PS: I made this writing to encourage you, who has greater things worth to share, but never eager to write. There’s no better time to start than today. And while blogging is a challenge that I believe fits into me at this exact moment in time, you may find greater opportunity in sharing to sophisticated audiences. But either way, I’d love to have you join me in some ways v(^^)

Scrum? Apaan tu?

AlbertEinstein

Langsung inget kalimatnya opa Einstein di atas begitu Yuricho Billy cerita soal pertanyaannya ke seorang Scrum Master tentang apa itu Scrum, gunanya apa, dan kenapa kita harus pake Scrum, yang mana jawabannya dirasa gak bikin ngerti sama sekali. Gak jelas.

Bikin gw juga jadi penasaran sebenernya Scrum itu apa, secara lagi lumayan happening, jadi mulai banyak workshop-nya juga, dan orang-orang (katanya) jadi ikutan make (entah karena mereka emang udah beneran ngerti atau biar keliatan up-to-date aja). Dan tantangannya adalah, setelah ntar gw pelajari, apakah gw bisa menjelaskan secara sederhana soal ini ke si Cocho dan bikin dia ngerti? Haha..

Baca, baca, baca, dan ha! Gak ada yang menarik ~,~

Oke, yang gw tangkep adalah.. Scrum ini sejenis salah satu metode manajemen gimana caranya handle suatu project (yang disini lebih bertendensi ke bidang IT development) untuk mengefektifkan cara kerja dan jadi jembatan antara keinginan project owner dan developer (karena project owner berorientasi waktu, harus on time sesuai perjanjian ke klien, sedangkan developer bukan robot yang skill-nya bisa ditekan kalo mau hasil bagus). Salah satu caranya adalah membagi masa pengerjaan project ke dalam beberapa termin, dimana tiap selesai satu termin, kita semua harus meeting dan review bareng, termasuk expose progress itu ke sang klien biar doi tau update-annya. Cuma jadi agak ribet disini karena pake banyak istilah, ya artifacts lah, backlog, sprint, increment, bla bla bla.. ^^

Sekilas langsung inget dan jadi mirip sama Lean Startup (ya nggak sih?). Cuma bedanya, Lean Startup fokus ke produk, sedangkan si Scrum lebih concern ke orang-orangnya juga. Inti objektifnya sama; efektifitas. Kenapa jadi beken? Jelas, karena konsep ini dateng dari pusat teknologi dunia dan terbukti berhasil di sana. But again.. gak semua yang sukses di luar bisa berhasil di Indonesia, dan sebenernya gak harus juga semua diadaptasi kemari. Ya.. lumayan sih buat jadi referensi, tapi kenyataannya, punya metode yang macem2 kadang justru lebih menarik, hehe.. atau lebih bagus ya kita bikin metode sendiri (kali-kali) terus dinamain dan bikin itu worldwide :))
Ada pendapat? =)
 
— tengah hari, di tengah kota-kota yang menunggu didatangi, saat bingung jadinya mau pake facebook social plugin atau nggak buat insert komen di blog
 
Sumber referensi:

http://www.scrumguides.org/scrum-guide.html#team-sm
View at Medium.com
http://scrum-indonesia.org/apa-itu-scrum

(Disclosure: postingan ini repost dari status saya di akun facebook pribadi. Yaa.. daripada ntar tenggelam ditelan waktu, mending saya posting di sini juga, biar sekalian ada update, hehe..)

Google Rule The World, You Have No Privacy

Haaaaalooooo…!! Hoba, hoba, hoba! Apa kabar semuanya? 😀
Lama gak ngeblog, gemes rasanya, banyak yang pengen di-share. Kebetulan kali ini lagi ada yang mentrigger untuk posting lagi, jadi mari kita cikidaw.
.

Google-lunar-x-prize-1

Private lunar rover. Courtesy Astrobotic Technology. Uh yeah, baby. We’re gonna colonize human to the moon.

Sesuai judulnya, sebenernya udah lama banget pengen nulis topik ini: Google Rule The World. Well, karena umumnya orang tau Google sebagai mesin pencari. Tapi kalo menilik jauh ke belakang bisnisnya, kok kayaknya gak abis-abis lini bisnis mereka, melingkupi hampir semua hajat di kehidupan kita, bahkan jauh di atas kehidupan standar manusia. Beberapa yang bisa disebutin diantaranya adalah, mereka punya project bikin moon rover robot untuk ke bulan (Google Lunar X Prize: lunar.xprize.org) yang bakal beneran berangkat ke bulan tahun 2015, mereka juga udah beliBoston Dynamics, institut robotik yang develop robot-robot humanoid (bostondynamics.com), merekabikin chips sendiri, mereka punya perusahaan kesehatan bernama Calico, mereka masuk ranah politik dengan develop constituteproject.org, yang ngasi fasilitas ke para penyusun konstitusi dengan cara mempesenjatai mereka berbagai tools, termasuk untuk para warga sipil biasa yang pengen membandingkan konstitusi antar negara di dunia, mereka punya perusahaan satelit, mereka produksi hardware kayak handphone Nexus, wearable-technology Google Glass, dll, segala macem yang kayaknya susah disebutin satu-satu, yaa apalagi kalo yang emang ngurusin urusan-urusan harian manusia, kayak online store dan termasuk wedding organizer (google.com/weddings/#/announce-the-news) #uhuk xP. Yaa singkatnya sih, sampe ada yang bilang, mereka tuh jadi kayak semacam “Tuhan Digital”. Fyuh~

Atlas_frontview_2013

Private lunar rover. Courtesy Astrobotic Technology. Uh yeah, baby. We’re gonna colonize human to the moon.

 

LS3-AlphaDog_web

Private lunar rover. Courtesy Astrobotic Technology. Uh yeah, baby. We’re gonna colonize human to the moon.

 

Can you guess what crossed my mind at the first time I saw all these stuffs?
“Oh God… what kind of future is coming…” X’)))

Ya, tapi balik lagi. Terlalu banyak yang bisa dibahas dari si salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia ini. Jadi apa sebenernya yang mentrigger Hani untuk nulis? Justru postingan salah satu teman  di facebook tentang apa yang sedang terjadi di sekitar daerah rumahnya. Doi posting foto ini nih, tadaaaa…

10177324_10152806945324776_2674914977283915287_n

haee :3

Mobil ini kebetulan sedang wara-wiri di daerah rumahnya di sekitar Perumahan Babakan Jeruk, Bandung. Untuk yang familiar, mungkin langsung ngeh ini mobil apa. Tapi untuk yang gak tau, ya bisa juga sih nebak dari tulisan yang ada di body mobil; “Ooohh.. ini toh Google Maps Sreet View…” (sambil ngangguk-ngangguk liat bola di atasnya). Lalu pertanyaan berikutnya, untuk apakah sebenarnya mobil ini??

Tebakan umum pertama yang keluar dari orang-orang yang liat adalah, mobil ini pasti sedang ngambil denah jalan, update peta untuk Google Maps, dan bikin versi lebih lengkapnya, karena sekarang udah bisa ditambah nampilin rumah-rumah yang dilewatin.  Sebagai orang awam juga, reaksinya ternyata bisa macem-macem, ada yang seneng karena rumahnya nongol masuk internet, ada yang nunggu kapan rumahnya dilewatin, ada yang khawatir takut pas lewat mereka lagi jemur sesuatu depan rumah, tapi ada juga yang kritis langsung antisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi.

1599465_10202878558473912_499786755709844530_o

Hasil yang bisa keluar dari pencarian melalui Google Maps.

“Wah, ketauan dong bentuk rumah kita ntar, bisa ngegampangin para maling?”, “Ini udah izin pemerintah belum ya, atau ada undang-undang-nya?”, “Emang warga sekota udah tanda tangan ngebolehin rumahnya di-shoot?”, begitulah sebagian orang yang kritis lalu peduli tentang privasinya. Sedangkan untuk sebagian yang lain: “Yaudah lah.. ini kan street view, domain public, dan juga for people good, lagian paling hanya ambil tampilan luar. Toh nantinya kita juga make layanannya”. Kira-kira begitu untuk kalangan yang pro dan agree by default. Menarik bukan?

Yang menarik adalah, seandainya saja, oh seandainya saja, kita bisa meluangkan waktu untuk mencari tau apa yang terjadi di sekitar kita, sebenarnya dengan mudah kita juga akan menemukan fakta-fakta yang menarik. Tapi mungkin rerata karakter orang kita memang ramah dan husnudzon (berprasangka baik), jadi yasudah…
Fyi, mobil ini sudah beroperasi dari sejak tahun 2007. Dan sebenarnya kalo cuma untuk bikin peta, mereka gak perlu ini. Apa untungnya ngambil tampilan depan rumah orang? Kenyataannya, privasi yang dilanggar bukan cuma soal itu, melainkan karena mobil ini juga sebenernya nyambi sebagai mobil spy, yang ngumpulin data wifi, email, dan password. Di Eropa dan kawasan lain, mobil ini sudah sangat dibatasi pergerakannya sejak 2010. Bahkan di Amerika aja, kasusnya pun masih diproses. Di tahun 2010, mereka didakwa karena mengakui memang mengcopy data-data password dan email. Perusahaan di California juga mengakui bahwa antena mobil itu men-scan jaringan wireless, termasuk wi-fi rumah, yang menghubungkan jutaan PC ke internet. Google mengintegrasikan lokasi, nama dan kode-kode identifikasi dari jutaan jaringan itu dan memasukkannya ke database mereka untuk kepentingan penjualan iklan. Jadi ya ampuun.. data-datanya itu loh.. Banyak negara yang concerned sama isu ini, sementara untuk di kita sendiri, well.. sepertinya mobil ini bisa terus menyadap dengan sedap. Bahkan kalo cari street view di negara-negara Asia Tenggara, untuk Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia aja (terakhir sih) belum ada, sedangkan untuk Indonesia ini paling lengkap. Seakan data-data pribadi kita yang mereka ambil dari smartphone kita belum cukup. Jadi, jangan heran kalo semua kebutuhan orang Indonesia nanti resepnya ada disana.

big2

Kalo settingan Android kamu ON, history kamu juga bisa diakses dan ketauan kemana aja selama ini, xixixi..

So, menurut kalian gimana? Ya memang sih, namanya juga perusahaan informasi. Dan mereka janjinya akan membenahi soal kebijakan privasi ini. (Gila ya, padahal revenue mereka udah sampe belasan trilyun dolar per tahun). Untuk yang pro dan tetap ngerasa santai, ya silakan, ini hanya memberi perspektif yang lain. Dan kalo untuk saya pribadi sih, bikin jadi pengen belajar lebih jauh aja soal si cyber security 😀

Baca komen orang-orang soal si perusahaan ini, jadi nemu kepanjangan yang cocok: GOOGLE = Grand Operation Over Gathering Largely Everything, ehe ehe ehe.. Sebagai penutup, Hani cuma pengen ngasi comic strip, salah satu favorit dari seri “SSHHH… IT HAPPENS!”-nya @ArieAre yang kayaknya agak relevan juga sama postingan kali ini:

Sekian postingan kali ini. Semoga kita akan ketemu di postingan berikutnya yang tidak terlalu lama! xD

PS: Tiba-tiba jadi kepikiran juga, istilah “Google” sama “doodle” tuh mana yang nongol duluan ya? Soalnya konsepnya sama;segala ada.

— ditulis di tengah malam menjelang pagi di kamar Jakarta, dalam kegalauan tentang asmara dan harga BBM yang baru naik jadi 8500/liter

Sumber referensi:
.
Disclosure: isi bahasan ini berawal dari postingan @ombenben di halaman facebook-nya: http://on.fb.me/1uxm4AS dan ini adalah hasil repost juga dari http://hanirosidaini.blogspot.co.id/2014/11/google-rule-world-we-have-no-privacy.html untuk tujuan integrasi blog