Hai semua,
Udah lama gak nulis di blog. Banyak yang pengen di-share, niatnya diposting berupa video aja, biar nambah-nambah konten di Youtube, eh tapi ternyata banyak hal yang tetep lebih enak dibagi lewat tulisan aja. Termasuk tentang topik ini.
2020 adalah tahun yang sangat berkesan untuk semua orang, positif dan negatif, termasuk gw. No long trip, extreme weight-gain, dan… direkrut oleh salah satu lembaga internasional, yaitu Open Ownership. Lembaga ini adalah lembaga yang berfokus pada keterbukaan data informasi penerima manfaat akhir (beneficial owner), yang salah satu tugasnya adalah membantu pemerintah di 90 negara yang sudah berkomitmen terhadap bentuk transparansi tersebut, membuka tabir siapa pemilik kontrol dan penerima keuntungan sebenarnya di perusahaan-perusahaan, demi memberantas korupsi, pencucian uang, pembiayan terorisme, penghindaran pajak, dan aksi-aksi kriminal lain lewat penyembunyian identitas atau penyamaran status pemilik. Uwawwww sekali bukan? Uwaw karena terdengar keren atau uwaww karena kok kayaknya beda banget sama bidang gw selama ini? >,<
Untuk yang kenal dan tahu, sejak 2017 memang hidup gw bisa dibilang “pivot”. Dari yang awalnya bisnis, bisnis, bisnis, biz tech, biz tech, biz tech, selalu private sector, tiba-tiba di tahun itu jadi masuk ke public sector. Disengaja gak disengaja, tapi takdir membawa gw begitu, kecemplung dan keterusan. Banyak hal yang gw syukuri, termasuk karena gw merasa menemukan bidang yang agak “blue ocean”, yaitu civic tech. Blue ocean dalam konteks orang-orang teknologi yang mengimplementasikan keilmuannya di bidang yang sangat teknikal ke sektor yang bukan akademis ataupun bisnis. Gw jadi pengen termasuk ke dalam orang-orang yang mentransformasi sektor publik secara digital (civic technologist). Dimulai dari gabung tim Satu Data Indonesia di Kantor Staf Presiden (2017), membuat gw jadi diterima sebagai satu-satunya orang Indonesia yang gabung School of Data (2018), sebuah program fellowship di bawah lembaga Open Knowledge (London), membantu implementasi Open Contracting (keterbukaan kontrak pengadaan publik) di Indonesia, berlanjut ke lembaga rekanannya sekarang, yaitu Open Ownership (Inggris). Buat gw sih benang merahnya tetap satu, yaitu pemanfaatan data untuk transformasi digital demi pelayanan publik yang lebih baik. Walaupun ternyata eh ternyata, ya ampun saudara saudara, secara praktek, jadi luaaaasss banget. Di titik ini, gw jadi ngerasa butuh banyak learning curve baru lagi. Gw jadi harus belajar soal policy mapping, stakeholder mapping, implikasi hukum, analisa kebijakan, penulisan global report, dimana di saat yang sama gw tetep masih pengen memperdalam kemampuan teknis gw dalam bidang ilmu data dan sistem komputer (kayak gak rela aja gitu untuk ngelepas predikat sebagai anak teknik). Jadi maksain diri untuk tetep bisa upgrade kemampuan di dua-duanya. Walaupun hasilnya yaa jadi gitu lah, pros and cons. Sebenernya sih, di Open Ownership pun butuh orang yang teknikal banget, karena OO bikin standar data sendiri, tapi ya tetep aja, tim teknis pun harus punya pengetahuan yang cukup tentang kebijakan publik untuk bikin solusi yang kontekstual.
Eh, balik lagi ke judul (haha, intronya kepanjangan), cerita kali ini adalah tentang pengalaman gw di awal diterima di Open Ownership. Secara praktek, kontrak kerja pertama gw dengan lembaga internasional adalah kontrak dengan Open Knowledge (2018), tapi waktu itu kontraknya biasa aja, gak ada yang aneh. Dana untuk membiayai gw waktu itu dari HIVOS, sebuah NGO internasional. Jadi, uang yang gw dapet itu adalah hasil donor HIVOS, yang kalo gak salah sumbernya dari EU (?), pemerintah Eropa. Nah, di tahun 2020, dengan lembaga Open Ownership ini, walaupun dia basisnya di Inggris, kebetulan untuk kontrak kerja gw, dananya disponsori secara fiskal oleh Global Impact, entiti non-profit Amerika. Hasilnya, kalau mau kontrak kerja, itu gw bahkan gak sama Open Ownership-nya, tapi langsung dengan si Global Impact. Dan di sinilah proses wadidawnya. Kenapa? Saat setelah dinyatakan bahwa gw terpilih oleh OO, sebelum akhirnya membuat kontrak kerja, ada masa dimana gw harus melewati proses due-diligence dari entiti Amerika tersebut (yang terafiliasi dengan lembaga-lembaga Amerika lain terutama terkait kontrol aset dan perbendaharaan). Alih-alih dikasih surat kontrak untuk ditanda-tangan, gw justru dikasih dulu surat pernyataan untuk mempersilakan mereka menginvestigasi semua hal tentang gw (fact-check). Lalu, apa yang aneh? Bukannya semua perusahaan pun akan menyelidiki calon kandidat pekerjanya? Yaa minimal lewat media sosial mungkin, postingan-postingan di twitter/instagram, atau minimal googling namanya dulu. Semua orang bisa melakukan itu kan? Nah, bedanya, ini formal banget, dan jadinya berkesan buat gw karena bahkan suratnya ada beberapa lembar, dan di dalamnya termasuk poin-poin yang sangat pribadi. Sedikit gambaran, di situ tertulis investigasinya bisa sampai ke data keuangan, histori transaksi, reputasi kredit gw di perbankan, data kepemilikan kendaraan, reputasi di media sudah tentu, mode hidup, verifikasi data diri, keluarga, status hukum, bahkan bisa sampai tanya jawab dengan teman atau tetangga tempat gw tinggal. Edaann.. Gw berasa mau dikulitin dan “ditelanjangin” semua data gw. Full background check, sehingga mereka minta gw untuk memberikan Privacy Consent. Kalau gak lolos due dilligence, ya kontrak kerjanya bisa aja batal. Heww~
Tapi ya apa lah gw. Mereka cuma mau rekrut satu orang dari Indonesia, dilalah gw terpilih jadi satu-satunya orang itu, ya gw tanda tangan aja Privacy Consent-nya. Dan kalau mau fair, ya mungkin memang harus begitu. Masa gw gabung OO, mau nuntut transparansi dan akuntabilitas orang bahkan pemerintah, tapi gw sendiri gak bisa diaudit dan gak akuntabel. Jadi yaa pasrah aja lah.. Maka gw kirim lah KTP passport gw untuk pelengkap due dilligence, dan gw nunggu sampe proses pengecekannya selesai. Ehh ternyata lama dongg. Sampe seminggu kemudian masih belum selesai-selesai juga. Gw pikir “buset, ini orang-orang pada ngepoin gw apa aja ya sampe lama begitu ~,~” Gw udah sampe mikir “wah, kayaknya gak lolos investigasi nih gw”. Jangan-jangan jadi lama karena mereka jadi mesti interview kandidat lain lagi untuk menggantikan gw. Ya ampun rasanya digantungin banget. Sampe akhirnya ternyata proses gw clear, UWOOOO YOU RAISE ME UUUUUPPPP!!!! (*sambil nyanyi), lega bett gw. Kayak abis diinvestigasi beneran, pokoknya gw leganya bukan main.
Udah sih, wadidaw di situ doang, hahhahaha…
Di luar itu, mungkin beberapa poin yang bisa gw share selama prosesnya adalah:
- Manfaatkan media sosial dengan baik. Buat yang suka Linkedin, silakan branding di Linkedin. Suka twitter, optimalkan twitter-nya. Kalau akunnya di-private, menurut gw sayang banget, karena malah nutup segala kemungkinan baik yang bisa terjadi. Kebetulan gw suka twitter-an, dan gw manfaatkan twitter gw untuk menjangkau orang-orang yang potensial. Bahkan jauh sebelum masuk Open Ownership, gw udah nyoba buka komunikasi lewat twitter dengan Executive Director-nya, sampe kami saling follow. Alhasil, gw jadi terekspos juga dengan kolega-koleganya yang lain, sampe akhirnya, bahkan sebelum gw mau gabung, gw udah di-approach duluan sama salah satu Country Manager-nya untuk apply. The power of socmed.
2. Shifting dari technical background ke public policy itu challenging. Sedikit tergambar di tabel di bawah ini:
Untuk ngatasinnya, gw berterima kasih teramat sangat untuk semua MOOC (Massive Open Online Course) di internet sehingga gw bisa banyak belajar secara mandiri. Online course yang gw ambil di awal-awal, dan gw rasa bermanfaat untuk orang-orang yang mau shifting juga ke public sector, beberapa diantaranya adalah:
Intinya sih jangan pernah berhenti belajar, hehe..
3. Reading is an important life skill! Salah satu hobi yang gw rasa sangat menolong gw adalah hobi gw membaca. Banyak orang zaman sekarang yang gak suka baca, dan beralasan “kan udah ada video atau podcast, ngapain baca? yang penting kan nerima informasi”. Padahal tetep beda banget. Salah satunya karena kalau gak suka baca, lw gak bakal suka nulis. Lw akan lebih ngalir untuk nulis kalau lw terbiasa banyak membaca. Buat gw yang suka baca aja, berkata-kata masih challenging, karena selama ini kerjaannya lebih banyak berkutat dengan angka. Dan tiba-tiba di kerjaan sekarang, gw mesti nulis report puluhan lembar, berbahasa Inggris, yang merupakan hasil assesment kualitatif dan kuantitatif di bidang yang sebenernya masih baru juga. Rasanya…….
4. Demi menciptakan dan memperbanyak talenta di bidang civic tech, gw coba dirikan organisasi bernama Civic Tech Indonesia, yang rencananya akan baru serius aktif di 2021. Jika ingin bergabung silakan berlangganan di newsletter-nya.
5. Setelah sekian lama kerja sendiri di rumah, gw merasa sangat butuh counterpart dan setidaknya teman diskusi, terutama yang sudah lebih ahli di bidang sektor publik ini. Gw pengen nyoba kerja di coworking space, tapi kebanyakan coworking space diisi oleh anak-anak startup dan bisnis. Gw butuh coworking space tempat orang-orang public sector ngumpul. Ada ide?
Yak, sekian dulu blog kali ini. Maaf kalau kepanjangan. Akhir kata, doakan saya ya bisa menjalankan amanat pekerjaan dengan sebaik-baiknya (kalau nggak, malu-maluin negara nih -.-). Saya juga doakan kalian yang sudah baca sampai akhir, semoga rizki kalian dilancarkan. Okeh? Amiin.
Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum warohmatullohi wa barakotuh v^_^
Dari yang beratnya nambah 15 kg selama pandemi,
Hani Rosidaini